Tampilkan postingan dengan label materi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label materi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 03 Januari 2013

INTEGRASI-INTERKONEKSI UIN SUNAN KALIJAGA

Prolog:

Terminologi integrasi-interkoneksi mulai ramai diperbincangkan di kalangan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga seiring dengan proses transformasi dari IAIN menuju UIN delapan tahun silam, tepatnya tahun 2004. Transformasi menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga ini berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama Nomor 01/0/SKB/2004 dan Nomor ND/B.V/I/Hk.001/058/04 Tanggal 23 Januari 2004, yang diperkuat lagi dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2004 Tanggal 21 Juni 2004. 


Proses transformasi ini dilakukan atas keinginan kuat dari segenap stakeholders dan civitas akademika agar lembaga yang semula bernama PTAIN ini berkembang menjadi center of excellent terutama dalam bidang ilmu-ilmu keislaman. Untuk menjawab tantangan itu kemudian dibentuklah tiga tim kelompok kerja (pokja) akademik, menejemen dan administrasi umum. Penulis sendiri terpilih sebagai anggota pokja menejemen yang di antara hasil kerja besarnya adalah lahirnya rumusan visi dan missi UIN Sunan Kalijaga. Sebuah perjalanan terjal dan “berdarah-darah” yang tidak mungkin hilang dari rekaman sejarah hidup penulis. Ketiga tim pokja itu melakukan tugasnya masing-masing guna menghasilkan rumusan besar tentang sosok UIN Sunan Kalijaga yang “integratif-interkonektif”.
I
ntegratif-interkonektif: Kegelisahan Intelektual?
Istilah integratif-interkonektif digagas dan diwacanakan oleh Prof. Amin Abdullah (selanjutnya: AA) yang pada saat itu menjabat sebagai Rektor IAIN Sunan Kalijaga untuk periode pertama (2001-2005). Sosok ilmuan sejati yang luas dikenal sebagai filosof itu begitu semangat dan antusiasnya untuk mendesiminasikan gagasannya tersebut. Berbagai forum digelar untuk mendiskusikan secara intensif, akademik dan komprehensif bagaimana dan seperti apa wujud dari “makhluk” yang bernama integrasi-interkoneksi itu. Banyak kritik dan cemoohan dari berbagai kalangan dan latar keilmuan akademisi yang datang, baik dari internal kampus ataupun yang dari luar.

Namun demikian, semua itu tidak menyurutkan semangat beliau untuk mewujudkan impiannya, “membumikan” integrasi-interkoneksi di dunia kampus sehingga akrab dan menjadi worldview bahkan mengkerak menjadi mindset ideologi semua insan akademis khususnya dan umat manusia umumnya. Beliau yakin bahwa integrasi-interkoneksi atau lengkapnya integrasi-interkoneksi ilmu Keislaman (disingkat 3IK) adalah solusi paling tepat dalam menjawab problem sosial kemanusiaan terutama yang berkaitan dengan keislaman dan keindonesiaan.

Dengan berbekal kekayaan literatur yang sudah dijelajah dan keluasan pengalaman berdialog dalam berbagai forum, baik lokal atau internasional, AA merumuskan 3IK sebagai sebuah paradigma keilmuan. Bagi AA, 3IK adalah sintesa dari realitas historis keilmuan keislaman yang selama ini tegak kokoh berdiri bak menara gading tanpa membutuhkan dan perduli dengan keilmuan yang lain (single entity). Seorang faqih dianggap sebagai sosok yang paling otoritatif bicara Islam dibanding seorang muhaddis, muarrikh, muaddib ataupun mufassir. Begitu juga sebaliknya.

Bila kondisi ini dibiarkan maka Islam dan umat Islam akan tertinggal dan ditinggal jauh oleh pesatnya akselerasi kemajuan peradaban. Bangunan keilmuan keislaman yang menjadikan teks/nash sebagai sumber kebenaran dengan pola nalar yang deduktif Aristotelian ini memiliki kelemahan cukup mendasar, yaitu tidak akrab dengan realitas (lack of empiricism) juga lemah secara metodologis. Kelemahan ini diperparah lagi dengan tarikan interes-interes personal yang begitu kuat karena rapuhnya benteng moral yang dimiliki. Selain pola pandang yang sempit (narrow mindedness) dan myopic juga kerdilnya mentalitas keilmuan untuk menerima kebenaran dari mana saja datangnya (open minded) semakin menambah absurditas keadaan.

Berbagai kelemahan dan kekurangan yang potensial dimiliki oleh ilmu keislaman ini dalam pandangan AA meniscayakan diri pada ilmu keislaman untuk berbesar hati bertegur sapa dengan ilmu-ilmu “diluar” islam seperti sains, social sciences dan humanities. Dengan membina hubungan yang harmonis dan sinergis ini, 3IK diyakini bisa menjawab sederet problem sosial kekinian seperti Globalization, Migration, Scientific & technological revolutions, Space exploration, Archaeological discoveries, Evolution and genetics, Public education and literacy, Increased understanding of the dignity of human person, Greater interfaith interaction, The emergence of nation-states dan Gender equality.

Ada tiga ranah 3IK yang bisa dilakukan yaitu filosofis, materi, metodologi dan strategi. Menurut AA, 3IK pada ranah filosofis adalah berupa suatu penyadaran eksistensial bahwa suatu disiplin ilmu selalu bergantung pada disiplin ilmu lainnya. Sedangkan 3IK pada ranah materi adalah suatu proses bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai kebenaran universal umumnya dan keislaman khususnya ke dalam pengajaran matakuliah umum, dan sebaliknya, ilmu-ilmu umum ke dalam kajian-kajian keagamaan dan keislaman. Adapun 3IK pada ranah ilmu ada tiga model, yaitu Model Pengintegrasian ke dalam Paket Kurikulum; Model Penamaan Matakuliah yang menunjukkan hubungan antara dua disiplin ilmu umum dan keislaman; Model Pengintegrasian ke dalam tema-tema matakuliah. Untuk 3IK pada ranah metodologi AA, memberikan catatan ketika sebuah disiplin ilmu dintegrasikan atau diinterkoneksikan dengan disiplin ilmu lain, maka secara metodologis harus menggunakan pendekatan dan metode yang aman bagi ilmu tersebut. Pada ranah terakhir, strategi AA menekankan bahwa pembelajaran dengan model active learning dengan berbagai strategi dan metodenya menjadi suatu keharusan.

Integrasi-Interkoneksi: Branding or Islamic Paradigm?
Mencermati sejarah lahirnya 3IK dari kegelisahan intelektual seorang AA melihat realitas sosial keagamaan yang berlangsung di masyarakat dan dilontarkan bersamaan dengan proses transformasi UIN dari IAIN menjadi wajar bila menimbulkan kontroversi dan multitafsir. Baik dari perspektif teoritis keilmuan ataupun dalam perspektif praksis-politis. Perdebatan yang berlangsung hingga saat inipun tetap berporos pada dua arus utama pemaknaan tersebut.

Dalam perspektif keilmuan, rumusan 3IK sebagai sebuah paradigma keilmuan hasil dari “integrasi” berbagai jenis disiplin keilmuan (barat- timur, islam-non islam, akhirat-dunia, tradisional-modern) adalah suatu logika yang hingga saat ini sulit dipahami oleh sementara kalangan, kalau “integrasi” yang dimaksud adalah pada wilayah epistemologi dari keilmuan masing-masing. Hal tersebut ibarat A + B = C. Bagaimana mungkin menghasilkan C? Bukankah lebih rasional bila A + B = AB? Semisal Fikih + Kimiawi = Fikih-Kimia atau Kimia-Fikih. Kalau tidak demikian maka yang terjadi adalah 3IK ini sebenarnya tiada lain adalah melanjutkan proyek islamisasi ilmu pengetahuan (islamization of knowledge) yang dicetuskan oleh Syed Naquib al-Attas dan dipopulerkan oleh Ismail R. al-Faruqi yang sudah dianggap gagal itu.

Bila dicermati dari kelima ranah 3IK seperti dijelaskan oleh AA di atas terlihat bahwa yang dimaksud dengan integrasi bukanlah pada epistemologi tapi lebih pada wilayah aksiologinya. Namun demikian bila difahami bahwa ontologi-epistemologi-aksiologi adalah satu kesatuan bangunan keilmuan yang tidak bisa dipisah dan terpisah, pemahaman mengenai 3IK dalam arti integrasi antara dua entitas menjadi satu entitas baru semakin sulit ditangkap maksudnya. Dengan demikian maka yang paling mudah difahami dari maksud 3IK ini adalah pendekatan interdisipliner. Apabila tidak mau disebut sebagai istilah lain dari pendekatan interdisipliner dan juga menyangkal sebagai penerus islamisasi ilmu pengetahuan dengan kemasan baru, maka seperti apa yang disinyalir oleh Machasin dari awal bahwa 3IK sebenarnya tiada lain dari sekedar branding bagi proyek transformasi IAIN ke UIN saja.

Al-Qur’an: Integrasi-Interkoneksi Yang Sebenarnya
Mencermati kembali apa yang dijelaskan dan diinginkan oleh AA mengenai 3IK terutama pada keempat ranah tersebut di atas, penulis menduga AA terinspirasi oleh kitab suci al-Qur’an. Al-Qur’an adalah contoh konkrit dari paradigma keilmuan integrasi-interkoneksi keilmuan dalam arti yang sesungguhnya. Pada al-Qur’an semua sumber pengetahuan begitu terintegrasi dan terinterkoneksi dengan sangat baik. Setiap informasi ayat yang disampaikan di dalamnya terkandung nilai filosofis, etis, strategis, historis juga metodologis yang saling terintegrasi. Adanya munasabah surat dengan surat, ayat dengan surat, ayat dengan ayat dan bahkan akhir surat dengan awal surat membuktikan bahwa al-Qur’an secara keseluruhan adalah satu kesatuan bangunan “keilmuan” yang di dalamnya sudah terintegrasi berbagai nilai dan pendekatan juga strateginya. Oleh karena itulah dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an tidak boleh sepotong tapi harus utuh.

Penyusunan Al Qur’an telah menggunakan dasar-dasar pengetahuan atau metode keilmuan, juga merupakan penjelasan secara tidak langsung bahwa susunan surat-surat maupun ayat-ayat di dalam surat, sudah menggunakan sistimatika dan metode keilmuan. Sistim berasal dari bahasa Yunani, yaitu systema yang berarti keseluruhan yang bulat dan utuh. Dengan demikian kata sistim pada dasarnya dapat dijelaskan sebagai suatu kegiatan atau proses yang bersifat integratif dan transformatif dari seluruh komponen-komponen yang ada di dalamnya. Dikatakan integratif karena proses tersebut bersifat menyeluruh karena melibatkan seluruh komponen yang ada yang fungsinya berbeda-beda satu sama lain. Disebut transformatif karena dari proses yang melibatkan seluruh komponen-komponen yang tersebut kemudian menghasilkan sesuatu yang baru. Dengan demikian, suatu sistim mempunyai pengertian yang jauh berbeda dengan kumpulan, sebab kumpulan tidak menghasilkan sesuatu yang baru. Artinya adalah bahwa Al Qur’an bukan sekedar merupakan kumpulan surat-surat dan ayat-ayat, yang kemudian dikumpulkan menjadi satu. Tetapi lebih daripada itu, semua komponen-komponennya tersebut satu sama lainnya saling berinteraksi atau berhubungan sehingga mejadi satu kesatuan informasi yang utuh.
Ikhtitam

Demikianlah kalau benar apa yang penulis duga dari mimpi besar seorang AA dengan gagasan cerdasnya, 3IK, maka sebenarnya ia sudah melakukan ijtihad yang tidak sia-sia karena spirit gagasan yang dikandungnya sangat positif dan konstruktif serta inovatif. Merujuk apa yang dijanjiikan oleh Nabi SAW bahwa bila seorang muslim (mujtahid/hakim) melakukan ijtihad sebelum menentukan keputusannya dan ternyata hasilnya benar dihadapan Allah maka ia akan mendapatkan dua pahala sekaligus, ijtihad dan benar. Tapi apabila hasil dari ijtihadnya tidak benar seperti yang dimaksudkan oleh Syari’ maka iapun tetap akan memperoleh satu pahala, ijtihad.

Kalau tohpun ternyata penulis salah dalam memahami dan membaca maksud dari 3IK sebagaimana yang dikehendaki oleh AA, maka itu sesuatu yang ghalib terjadi meski secara hermeneutis pembaca tidak pernah bisa dipersalahkan dalam membaca kehendak penulis teks. Karena teks yang sudah dipublish sudah terlepas sepenuhnya dari otoritas penulis teks. Teks itu sudah sepenuhnya milik pembaca bukan lagi milik penulis. Lebih ekstrem lagi, tidak ada satupun yang mampu memahami secara tepat terhadap teks yang sudah dipublish oleh penulisnya, karena teks itu memiliki dunianya sendiri yang tidak bisa diklaim oleh siapapun, baik pembaca sekaligus penulis sekalipun sebagai yang paling benar dalam memahami maksudnya. Wa Allahu a’lamu bis shawab. Demikian semoga bermanfaat.

Sumber Referensi
Shofiyullah’s World
Diakses pada tanggal 1 januari 2013 jam 07.34

Pendekatan Pemaduan Islam dan Sains


PENDEKATAN  SAINS ISLAM :
Tokoh: Sayyed Hossein Nasr ,Ziauddin Sardar ,Maurice Bucaille
Gagasan :
 Perlunya etika islam untuk mengawal sains. Perlunya landasan epistemologi Islami untuk suatu sistem sains (“sains islam”)

PENAFSIRAN (SENTUHAN ) ISLAMI :
Tokoh : Mehdi Ghulsani, Bruno Guiderdoni

Gagasan :
tidak perlu membangun sains islam tetapi cukup memberikan penafsiran(sentuhan) islami terhadap sains yang ada saat ini


PENDEKATAN ISLAMISASI ILMU:
Tokoh : Naquib Al-Attas, Ismail Raji’ Al-Faruqi, Harun Yahya
Gagasan :
 hendaknya ada hubungan timbal-balik antara aspek realitas (sains/iptek) dan aspek kewahyuan (islam).


PENDEKATAN ISLAMISASI PENUNTUT ILMU :
Tokoh : Fazlur Rahman
Gagasan :
•Yang harus mengaitkan dirinya dengan nilai-nilai islam adalah pencari ilmu bukan ilmunya.


PENDEKATAN ILMUISASI ISLAM :
Tokoh : Prof. Dr. Kuntowijoyo (Alm)
Gagasan :
Perumusan teori ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada Al-Quran (menjadikan al-Quran sebagai suatu paradigma).


PENDEKATAN POHON ILMU :Tokoh : Prof. Dr. Imam Suprayogo (Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)Gagasan :
•Agama sebagai pengembangan sains.Sains dipandang merupakan bagian dari kajian keagamaan Islam.


PENDEKATAN INTEGRASI –INTERKONEKSI :
Tokoh : Prof.Dr. Amin Abdullah
Gagasan :
•Mempertemukan antara ilmu-ilmu agama islam (hadlarah al-nash) dan ilmu-ilmu umum (hadlarah al-’ilm) dengan filsafat (hadlarah al-falsafah


Sumber Referensi
Nurochman, M.Kom. UIN Sunan Kalijaga

Minggu, 30 Desember 2012

Strategi Pengembangan Sains-Teknologi di Dunia Islam Masa Kini dan Mendatang

 Strategi Pengembangan Sains-Teknologi
·         Penciptaan paradigma baru tentang sains-teknologi
·         Kebijakan pemerintah yang pro pengembangan sains-teknologi

Paradigma baru tentang sains-teknologi
·         Paradigma yang dimaksud adalah cara pandang terhadap sains-teknologi
·         Studi sains-teknologi menjadi bagian dari studi Islam (ontologi, epistemologi, dan aksiologi)
·         Paradigma ini tidak lagi memisahkan sains-teknologi dalam posisi yang diametral dengan agama, tetapi sains-teknologi bagian dari agama.

Ontologi Sains-Teknologi
·         Bahwa secara ontologis, untuk memahami Allah SWT, dapat dilakukan melalui ayat-ayat qauliyyah dan kauniyyah.
·         Lebih dari 750 ayat al-Qur’an membahas tentang fenomena alam

Epistemologi Sains-Teknologi
Pengembangan sains-teknologi dalam Islam
1.      BAYANI
2.      IRFANI
3.      BURHANI

BAYANI
·         Saintis dan teknokrat muslim :
harus menjadikan teks al-qur’an dan al-sunnah sebagai sumber inspirasi
·         Al-Qur’an dan al-Sunnah tidak boleh hanya dikaji secara literal
sebab konteks ayat/hadits tentang fenomena alam yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits cenderung menggambarkan kondisi masyarakat Arab

BURHANI
·         Saintis dan teknokrat muslim :
harus membiasakan diri melakukan perenungan, pengamatan, verifikasi, eksplorasi dan eksperimen tentang fenomena alam di sekitarnya
·         BURHANI:
METODE ILMIAH

IRFANI
·         Paradigma ‘irfani
terkait dengan sikap dan aspek esoterik saintis dalam mensikapi suatu fenomena alam
·         Sainstidak boleh untuk dirinya sendiri
-          ada misi kekhalifahan manusia di bumi
-          kajian sains dan teknologi tidak akan membawa kepada kerusakan alam

Aksiologi Sains-Teknologi
·         Sains-teknologi harus dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
·         Sains-teknologi harus bisa mencerminkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘aalamiin).

Kebijakan pemerintah yang pro pengembangan sains-teknologi
POLITIK – KEBIJAKAN – IMPLEMENTASI - PENDIDIKAN

Sumber Referensi
frida Agung. UIN Sunan Kalijaga













HUBUNGAN ISLAM DAN SAINS



Kemajuan dan Kemunduran Peradaban Islam
·         Hubungan Islam dan Sains tidak lepas dari kemajuan dan kemunduran sains dalam peradaban Islam

Kemajuan Sains Dalam Peradaban Islam
·         Umat Islam mulai mempelajari atau melakukan penafsiran ilmiah sejak generasi pertama sampai abad ke-lima hijriyah hingga menjadikan diri mereka sebagai pelopor Ilmu pengetahuan di seluruh penjuru dunia
·         Umat Islam telah menjadi pelopor dalam research tentang alam, sekaligus sebagai masyarakat pertama dalam sejarah ilmu pengetahuan yang melakukan experimental science atau ilmu thabi’i berdasarkan percobaan yang kemudian berkembang menjadi applied science atau technology.

ISLAM Mendorong Kemajuan Sains
Islam mendorong ummatnya untuk selalu berupaya mengembangkan sains
·         Q.S. Al-’alaq: 1-5
·         Q.S. Ali-Imran: 190-191
·         Q.S. Al-Jatsiyah: 13

      Pandangan Al-Qur’an terhadap Sains
·         Seluruh pengetahuan, termasuk pengetahuan kealaman (sains), terdapat dalam al-Qur’an. (Pendapat ini didukung antara lain oleh al-Ghazali, al-Suyuti, dan Maurice Bucaile)
·         Al-Qur’an hanya sebagai petunjuk untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.( Pendapat ini didukung antara lain oleh Ibnu Sina, al-Biruni, dan al-Haitam)


      Faktor-faktor Pendorong Kemajuan Sains dalam Peradaban Islam
·         Universalisme
·         Toleransi
·         Karakter pasar internasional
·         Perhargaan
·         terhadap sains dan saintis
·         Keterpaduan
·         antara tujuan dan alat/cara
universalisme
keyakinan dan tujuan akan menghasilkan ikatan kebersamaan umat islam
Ummat Islam (Q.S. Ali-Imran: 110)
·         Beriman kepada Allah
·         Melarang Berbuat Munkar
·         Mengajak kepada Kebaikan
Toleransi
         Mau Berbagi Ilmu
         Mau Menerima Ilmu
Universalisme dan Toleransi
         Ummat Islam dengan toleransi Tidak teriolasi dan Rahmat bagi semesta alam
Karakter Pasar Internasional
         Karakter Pasar Internasional adalah Luasnya Jaringan Perdagangan
         Luas daerah kekuasaan Islam pada Dinasti Abbasiyah adalah dari India di Timur sampai dengan Andalusia di Barat
         Rihlah ilmiyah (perjalanan untuk mencari ilmu pengetahuan) adalah menjadikan sains-teknologi di dunia Islam maju
Perhargaan terhadap sains dan saintis
Al-Makmun membangun Baitul Hikmah
Keterpaduan antara tujuan dan cara
Sains dan nilai (etika atau moral) harus berjalan bersamaan
Kemunduran Sains dalam Peradaban Islam
Factor utama kemunduran sains dalam peradaban islam adalah Konflik islam dan sain, yang akhirnya menyebabkan:
         masa akhir kemunduran sains Islam
         kemunculan sains modern (Newton)
Salah satu konflik yang terjadi adalah Imam Al-Ghazali  dengan bukunya yang berjudul IhyaUlumiddin yang isinya:
         menyerukan umat Islam untuk kembali meng’hidup’kan ajaran agama
         Larangan untuk mempelajari sains, sehingga budaya mempelajari sains ditinggalkan
Dampak salah paham yakni ketimpangan posisi ilmu dan terpisahnya tradisi filsafat dengan tradisi pemikiran keagamaan  yang mengakibatkan Filsafat dan sains berada dalam satu kelompok (ilmu duniawi) dan agama berada dalam kelompok lain (ilmu ukhrawi)

Sumber Refensi
Nurochman, M.Kom. UIN Sunan Kalijaga

TIPOLOGI HUBUNGAN SAINS DAN AGAMA




Pendahuluan
·         Isu hubungan agama dan sains tidak selalu diisi dengan pertentangan dan ketidaksesuaian
·         Banyak kalangan yang berusaha mencari hubungan antar keduanya
·         Kalangan lain beranggapan bahwa agama dan sains tidak akan pernah dapat ditemukan, keduanya adalah entitas yang berbeda, memiliki wilayah masing-masing yang terpisah baik segi objek formal-material (ontologi), metode penelitian (epistemologi), serta peran yang dimainkan (aksiologi)
·         Di akhir dasawarsa tahun 90-an, di Amerika Serikat dan Eropa Barat khususnya, berkembang diskusi tentang sains (ilmu pengetahuan) dan agama (kitab suci)
·         Diskusi dimulai oleh Ian G. Barbour yang mengemukakan teori “Empat Tipologi Hubungan Sains (Ilmu Pengetahuan) dan Agama (Kitab Suci)”

Empat Tipologi Hubungan Sains (Ilmu Pengetahuan) dan Agama (Kitab Suci)
1.      Tipologi Konflik
menganggap bahwa agama dan ilmu pengetahuan itu saling bertentangan. Dianut oleh kelompok materialisme ilmiah dan kelompok literalisme kitab suci
materialisme ilmiah
·         keyakinan agama tidak dapat diterima karena agama bukanlah data yang dapat diuji dengan percobaan
·         sains (ilmu pengetahuan) bersifat obyektif, terbuka, dan progressif
·         agama (kitab suci) bersifat subyektif, tertutup, dan sangat sulit berubah
literalisme kitab suci
·         teori ilmiah melambungkan filsafat materialisme dan merendahkan perintah moral Tuhan

penyebab konflik:
fundamentalisme sains (ilmu pengetahuan) dan fundamentalisme agama (kitab suci)

2.      Tipologi Independensi
Konflik tidak perlu terjadi
·         karena sains (ilmu pengetahuan) dan agama (kitab suci) berada di domain yang berbeda
·         sains (ilmu pengetahuan) sebagai kajian atas alam sedangkan agama (kitab suci) sebagai rangkaian aturan berperilaku


3.      Tipologi Dialog
mencari (secara ilmiah) hubungan (konseptual dan metodologis) antara sains dan agama, kemiripan dan perbedaannya.

DIALOG SAINS DAN AGAMA
KONSEPTUAL
·         sains menyentuh persoalan di luar wilayahnya sendiri (misalnya: mengapa alam semesta serba teratur?)
·         sains digunakan sebagai analogi untuk membahas hubungan Tuhan dengan dunia, yakni adanya kesejajaran konseptual antara teori ilmiah dan keyakinan teologi

METODOLOGI
Saat sains dipahami tidaklah seobyektif dan agama juga dipahami tidaklah sesubyektif – sebagaimana yang diduga

SAINS : OBYEKTIF-SUBYEKTIF
·         Data ilmiah yang menjadi dasar sains, ternyata melibatkan unsur-unsur subyektifitas
·         Subyektivitas itu terjadi pada asumsi-asumsi teoritis yang digunakan dalam proses pemilahan, pelaporan, dan penafsiran data
·         Sebagian teori sains lahir dari imajinasi kreatif yang di dalamnya mengandalkan analogi dan model

AGAMA: SUBYEKTIF-OBYEKTIF
·         Agama tidak sesubyektif yang diduga
·         Data agama (pengalaman keagamaan, ritual, dan kitab suci) lebih banyak diwarnai penafsiran konseptual
·         Asbaabun nuzuul
·         Asbaabul wuruud

4.      Tipologi Integrasi

·         Memadukan antara agama dan sains
·         menyerukan perumusan ulang terhadap gagasan-gagasan teologi tradisional
·         teologi tradisional dikaji secara lebih ekstensif (luas) dan sistematis

Tiga versi integrasi
1.      natural theology
Menjadikan alam sebagai sarana untuk mengetahui Tuhan( Eksistensi Tuhan dapat disimpulkan dari (didukung oleh) bukti desain alam, yang dari alam tersebut dapat menyadari adanya Tuhan)

2.      theology of nature
Berangkat dari pemahaman keagamaan (pemahaman keagamaan yang ada disinari dengan sains)

ITT + S = TR (Arthur Peacocke)
ITT = iman dan teologi tradisional
S = sains
TR        = teologi yang telah direvisi

3.      sintesis sistematis
Pemaduan agama dan sains secara lebih sistematis sehingga memberikan kontribusi ke arah pandangan yang lebih koheren
Melalui filsafat proses setiap peristiwa atau teori baru merupakan produk masa lalu dari tindakan dan aksi Tuhan

Sumber Referensi
Frida Agung, UIN Sunan Kalijaga