Senin, 31 Desember 2012

#RELASI SAINS MODERN DAN SAINS ISLAM

RELASI SAINS MODERN DAN SAINS ISLAM
Suatu Upaya Pencarian Paradigma Baru

Moh Dahlan
Alumni Program Doktor
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Abstract
The search for a new paradigm in building relationships of modern science and
Islamic science uses the frame of mind Ian G. Barbour which divides the relation
of knowledge (science) and religion into four approaches: the firs is the approach of
conflict, the second is the approach of independence, third, is the dialogue approach,
and the fourth is the integration approach. Of the four types of approaches, new
paradigms of science can only be realized if formulated based on the integration
approach. This integration approach is used to address weaknesses and shortcomings
of modern science to achieve the new paradigm, so that basic science has ontological,
epistemological, and axiological right.

PENDAHULUAN
Pertumbuhan dan perkembangan sains (ilmu pengetahuan) yang sangat pesat
pada awalnya hanya berlandaskan satu sumber, yaitu: filsafat. Namun berkat
upaya pemikiran manusia, pertumbuhan dan perkembangan sains menjadi
semakin beraneka ragam yang masing-masing ingin melepaskan diri dari
induknya (Runes, 1976; Muhadjir, 2000, Mujani, 1996; Bertens, 1999). Dari
munculnya beragam sains itu, sains menjadi semakin jauh dari realitas
kefilsafatannya, yang kemudian sains hanya mengabdi pada realitas sainstifik
(keilmiahaan) saja ketika sains telah mencapai era modern. Karakter
epistemologis sains modern adalah rasional-empiris-positivistik, sedang karakter
ontologis sains modern adalah bersifat materialistik, mekanistik dan atomistik
(reduksionistik) (Kuntowijoyo, 1993). Dari karakter epistemologis dan ontologis
ini, sains modern lalu menjadi tidak mengenal nilai-nilai kemanusiaan, tepatnya
dalam tataran oksiologis ia menjadi bebas nilai .
Sains sebagai hasil karya pemikiran manusia yang berusaha untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri dituntut untuk mampu memberikan solusi yang positif.
Sains itu harus tumbuh dan berkembang dalam suasana kebebasan berpikir
walaupun model kebebasan berpikir itu sendiri masih perlu diperbincangkan
lebih lanjut (Syahrur, 1994 Barbour, 1996). Hal ini karena sains dalam
perjalanannya berkembang ke arah argumen bahwa sains (modern) itu netral,
bahwa sains (ilmu pengetahuan) yang dalam tentang atom bisa digunakan untuk
menciptakan bom nuklir dan juga bisa untuk menyembuhkan kanker, bahwa
ilmu genetika bisa untuk mengembangkan pertanian di dunia ketiga dan juga
bisa menyaingi Tuhan mulai dipertanyakan oleh para saintis (Bagir & Abidin,
1998). Karena itu para saintis mulai menggulirkan wacana perlunya
menempatkan sains dalam realitas kebutuhan hidup dan fitrah manusia yang
religius.
Kegelisahan para sainstis tersebut telah memunculkan upaya untuk mencari
paradigma baru yang bisa membangun hubungan sains dan agama (sebagai
entitas kultural) dengan tidak menafikan salah satunya, tetapi justru dengan
berupaya untuk membangun interaksi yang konstruktif dan integratif. Namun
demikian kita masih meragukan kemampuan kaum agamawan (yang berprofesi
saintis) dalam memberikan jawaban dan solusi terhadap berbagai macam
ketertinggalan yang dialaminya. Keraguan ini dipicu oleh berbagai tawaran
paradigmatik dari kaum agamawan yang tidak memadai. Untuk itu, kita perlu
berusaha keras mencari paradigma lain yang mutakhir dan yang lebih memadai
untuk menjawab kebutuhan manusia di masa kini.

KERANGKA METODOLOGIS RELASI SAINS DAN AGAMA
Secara garis besar, Ian G. Barbour membagi relasi pengetahuan (sains) dan
agama menjadi empat pendekatan: Pertama, pendekatan konflik adalah pendekatan
yang saling menafikan di antara keduanya, yaitu agama dan pengetahuan (sains).
Bagi pendekatan ini, sains dan agama bertentangan. Kedua, pendekatan independensi
yang menyebutkan bahwa sains dan agama merupakan dua domain independen
yang dapat hidup bersama selama mempertahankan jarak aman satu sama
lain. Karenanya, semestinya tidak perlu ada konflik kerena sains dan agama
berada di domain yang berbeda. Di samping itu, pernyataan sains dan
pernyataan agama memiliki bahasa yang tidak bisa dipertentangkan karena
pernyataan maasing-masing melayani fungsi yang berbeda-beda dalam
kehidupan manusia dan berusaha menjawab persoalan yang berbeda. Ketiga,
pendekatan dialog berusaha membandingnkan antara metode agama dan sains
yang kemudian menunjukkan kemiripan dan perbedaan. Model konseptual
dan analogi dapat dipergunakan untuk menggambarkan hal-hal yang tidak
dapat diamati secara langsung (misalnya Tuhan). Sebagai alternatifnya, dialog
dapat terjadi ketika sains menyentuh persoalan di luar wilayahnya sendiri.
Pendekatan ini baru terjadi ketika di antara keduanya saling membutuhkan,
tetapi jika tidak membutuhkan, tidak terjadi dialog. Keempat, pendekatan integrasi
berusaha membangun kemitraan yang lebih sistematis dan ekstensif antara
sains dan agama yang terjadi di kalangan orang yang mencari titik temu di
antara keduanya (Barbour 1996 & 2000 Yinger,1966).

SEJARAH SAINS
Pertumbuhan dan perkembangan sains (ilmu pengetahuan) pada dasarnya tidak
bisa dilihat dengan tiba-tiba tanpa kita telusuri perjalanan dan kasifikasinya.
Sebab setiap periode pertumbuhan dan perkembangannya memiliki ciri khas
dan karakteristik tersendiri yang tidak bisa disamakan dalam setiap periodenya.
Karena itu untuk memahami sejarah pertumbuhan dan perkembangan sains,
kita harus melakukan pembagian atau klasifikasi secara periodik. Sedang
periodesasi itu dimulai dari zaman Yunani.

ZAMAN YUNANI KUNO (ABAD 7-2 SM)
Zaman Yunani ini merupakan zaman keemasan bagi cikal bakal sains (ilmu
pengetahuan) modern. Yunani pada masa itu merupakan gudang sains dan
filsafat, karena bangsa Yunani tidak mempercayai mitologi-mitologi. Bangsa
Yunani tidak menerima begitu saja fenomen yang dialaminya, tetapi ia selalu
menumbuhkan sikap kritis terhadap setiap fenomena kehidupan yang terjadi
di dunia ini.
Sikap kritis ini telah melahirkan beberapa tokoh terkenal diantaranya: Pertama,
Thales (624-548 SM) mencoba mempertanyakan asal muasal alam semesta
(arké/ prinsip). Pertanyaan inilah yang telah memunculkan berbagai macam
jawaban yang hingga kini tidak pernah selesai walaupun Thales menjawabnya
dengan air karena dianggap menjadi sumber kehidupan. Dalam bukunya
tentang psikologi, Aristoteles menjelaskan pendapat Thales yang lain, yaitu:
semuanya penuh dengan dewa-dewa . Aristoteles memperkirakan bahwa
dengan perkataan itu, Thales memaksudkan bahwa jagad raya berjiwa. Kedua
adalah Pythagoras (580-500 SM) yang mempunyai keahlian di bidang ilmu
ukur dan yang berpendapat bahwa bumi itu bundar dan tidak datar. Ketiga,
Sokrates (470-399 SM) seorang tokoh dialektika yang telah membuka cakrawala
berpikir orang-orang pada masanya untuk tidak terjebak pada hasil, tetapi
seseorang harus selalu berproses. Keempat, Democritos (460-370 SM)
mempunyai penemuan tentang atom. Ia menjelaskan bahwa alam semesta
berasal dari atom-atom. Kelima, Plato (427-374 SM) menyelesaikan polemik
antara yang abadi (being) dan yang berubah (becoming), yang satu dan yang banyak.
Yang memadukan kesempurnaan ide-ide dan kepastian matematis. Karena
itu, Plato dikatakan eksponen rasionalisme ketika berbicara tentang metode
sains dan seorang idealis ketika berbicara tentang unsur aksiologis. Keenam,
Aristoteles adalah Murid, pengkritik, dan penerus Plato. Aristoteles memiliki
pandangan metafisika yang berbeda dengan Plato, baginya kenyataan adalah
hal konkret itu. Ide-ide seperti: Manusia , Pohon ,-seperti dikatakan Plato -
tidak terdapat dalam kenyataan. Selain itu, ia juga adalah ilmuwan dalam bidang
logika (sylogisme) dan biologi (Mustansyir, 2001).

ZAMAN PERTENGAHAN (ABAD 2-14 M)
Zaman Pertengahan adalah yang ditandai oleh munculnya para teolog yang
mengambil peran signifikan dalam bidang sains, sehingga sains Zaman
Pertengahan berkerja dan beroperasi untuk kepentingan agama. Namun harus
diakui bahwa banyak temuan dalam bidang ilmu yang terjadi pada masa itu.
Peradaban Islam, terutama pada zaman Bani Umayyah telah memasukkan
satu cara pengamatan astronomi pada abad 7 Masehi, 8 abad sebelum Galilieo
dan Copernicus. Singkatnya, sumbangan sarjana-sarjana Islam dalam bidang
sains dan kebudayaan adalah: (a) mereka menerjemahkan peninggalan bangsa
Yunani dan menyebarluaskannya, sehingga dapat dikenal halayak ramai. (b)
mereka memperluas pengamatan dalam lapangan ilmu kedokteran, astronomi,
obat-obatan, dan ilmu lainnya. (c) menegaskan menegaskan system desimal
dan dasar-dasar aljabar (Mustansyir, 2001)..

ZAMAN RENAISSANCE (14-17 M)
Zaman ini ditandai oleh kebangkitan kembali sains dari kungkungan dogmadogma
agama. Zaman ini merupakan awal dari perkembangan sains modern
saat ini. Tokoh-tokohnya diantaranya adalah (a) Roger Bacon yang berpendapat
bahwa pengalaman empirik merupakan dasar dari kebenaran sains. (b)
Copernicus yang berpendapat bahwa bumi mengelilingi matahari. (c) Tycho
Brahe menekuni bidang astronomi dengan membuat alat-alat untuk melihat
benda-benda angkasa. (d) Johanners Keppler yang meneruskan ide-ide Brahe
(heleosentris) dengan mencetuskan teorinya; gerak benda bukan dengan cara
circle, tetapi dengan lintasan elips. (e) Fancis Bacon memasukkan metode
eksperimentasi dan juga tujuan sains dalam kehidupan. Disamping itu, ia juga
menggabungkan rasionalisme dan empirisisme dalam diri manusia. Sedang
nilai baru yang dimiliki oleh pemikiran Bacon adalah bahwa pada zaman Yunani,
tugas sains hanya memahami alam, tetapi pemikiran sains Bacon telah
menempatkan unsur praktisnya juga dalam kerja sains (Abidin, 1998). Artinya,
teknologi zaman Yunani masih belum terpikirkan manfaatnya untuk kehidupan
manusia sehari-hari walaupun teknologi sudah ada, tetapi tidak memiliki posisi
sedemikian tinggi. Nilai baru ini diperkuat oleh pemisahan manusia dengan
alam. Bacon berpendapat bahwa untuk menyelidiki alam, manusia harus
menempatkannya pada sebuah posisi di mana alam dipaksa untuk memberikan
jawabannya. Ini merupakan awal dari terbentuknya filsafat mekanis yang melihat
alam sebagai sebuah mesin besar yang tidak memiliki tujuannya sendiri. (f)
Galileo Galilei adalah tokoh kontroversial yang menegaskan kembali gagasan
Keppler (heleosentris). Era Galileo merupakan era peletakkan dan
pengembangan sains yang kokoh yang ditandai dengan adanya metode
observasi, eliminasi, prediksi, pengukuran, dan eksperimentasi (Mustansyir,
2001). Dengan metode eksperimentasi Bacon, Galileo membawanya ke dalam
praktik dan mempertentangkannya dengan tradisi keilmuan Yunani. Pada era
Galileo ini pula terdapat pergeseran paradigma dari pertanyaan mengapa dalam
tradisi Yunani ke bagaimana yang menekankan eksperimen; sebuah pergeseran
dari kualitatif ke kuantitatif. Dalam praktiknya, penelitian-penelitian itu lebih
ditujukan kepada hal-hal yang bisa diukur saja, yang lainnya diabaikan (Abidin,
1998).

PERMASALAHAN SAINS MODERN
Sains Barat, khususnya sains modern, telah memunculkan pola pikir yang pada
akhirnya telah membentuk pola tindakannya. Sains modern sebagai anti-tesa
sains Abad Pertengahan telah membentuk pola dominasi tersendiri, yaitu
rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme dan empirisme inilah yang menjadi
pilar utama metode (epistem) sains dalam memberikan penilaian terhadap seluruh
kerjanya, baik menyangkut kepentingan orang banyak maupun perseorangan,
dan bahkan juga masalah agama. Realitas ini tidak bisa dilepaskan dari tuntutan
sains yang ingin melepaskan diri dari kungkungan agama sebagai dogma.
Karenanya nalar indrawi yang pernah digalakkan oleh Yunani klasik mendapat
momentum baru untuk bangkit kembali. Walaupun bangkitnya juga menghadapi
permasalahan dan perlu terus diperbincangkan karena sains sebagai metode
mencapai pengetahuan mempunyai orientasi hanya pada pengamatan empirispositivis.
Akibatnya, realitas lain tidak bisa diamati dan digali secara memadai.
Karenanya era ini juga sering disebut dengan era materialistik, mekanistik, dan
atomistik sebagaimana akan dijelaskan pada bagian di bawah ini.

MATERIALISTIK
Berbicara mengenai sains yang berada di bawah ini mempunyai tiga titik tolak
yang menjadi dasar bagi pembangunan sains. (a) pertanyaan yang berkaitan
dengan asal-usul alam semesta ini yang menguraikan tentang alam semesta ini
yang terdiri dari tiga unsur: materi, ruang, dan waktu. Materi tersusun dari
atom-atom yang terikat satu sama lainnya. Sedangkan ruang dan waktu adalah
absolute, artinya akan selalu ada juga andaikata materi di alam raya ini musnah.
Baik ruang dan waktu tidak terbatas, universal, dan tidak dapat berubah. (b)
pertanyaan ini berkisar pada persoalan perubahan yang membahas tentang
perubahan-perubahan yang dimengerti sebagai perpisahan, penggabungan dan
pergerakan, dengan berbagai variasinya dari partikel yang tetap tadi. (c)
pertanyaan terakhir mengurai tentang terjadinya perubahan-perubahan. Semua
hal itu terlaksana dalam hukum-hukum fisika yang mengatur persoalan materi
dalam ruang dan waktu yang absolute. Implikasi pertanyaan ini adalah, bahwa
para ilmuwan hanyalah sekedar penonton yang berada di luar system tersebut.
Seluruh alam semesta dan materi dapat dimengerti tanpa harus diantar oleh
pikiran (Soetomo, 1995). Salah satu tokoh yang menegaskan pentingnya materi
adalah Descartes yang melihat bahwa semua mahluk material adalah semacam
mesin yang diatur oleh hukum-hukum mekanis yang sama; tubuh manusia
terdiri atas materi yang tak lebih daripada yang ada pada hewan dan tumbuhan.
Walaupun era ini diakui dunia spiritual, tetapi dominasi dunia material tidak
bisa dikalahkan. Realitas ini merupakan awal dari adanya era sekularisme.

MEKANISTIK
Setelah Descartes, muncul Isaac Newton yang membawa filsafat mekanis
yang sebelumnya diusulkan oleh Coperniscus, Bacon, Galileo dan Descarteske
dalam praktik sains, dan kembali merumuskan pandangannya tentang Tuhan
dan alam. System berpikir yang dirumuskan Newton inilah yang kemudian
dipandang sebagai bentuk akhir filsafat mekanis. Masa ini dipandang sebagai
peralihan dari nilai-nilai lama ke yang baru, dengan sains modern sebagai
perwujudannya. Sedang keberhasilan sains modern didukung oleh kelompok
borjuis yang mempunyai kepentingan untuk mengeksploitasi alam demi
mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dan menganggap alam sebagai benda
mati (Abidin, 1998). Implikasinya, dunia modern telah menempatkan semua
realitas kehidupan manusia dengan ukuran rasionalitas yang otonom dengan
berdasarkan bukti-bukti empiris saja.
Inilah praktik tipikal dunia modern. Para sainstis hanya berkerja dalam tataran
konseptual-obyektif, netral, dan tanpa ada intervensi dari para saintis untuk
mengendalikan sains. Ini menunjukkan bahwa saintisme telah meletakkan dasardasar
berpikir yang hanya berpijak pada eksperimen dan hitungan matematis
sebagai ukuran ilmiah atau tidaknya sebuah hasil pemikiran atau penelitian.
Demikian juga masyarakat industri tinggi akan selalu meletakkan fakta dan
abstraksi kuantitatif (baca: positivisme) yang diakui eksistensinya oleh sains
yang mekanistik dan reduksionistik. Ironisnya ilmu-ilmu humaniora menjadi
sangat kuantitatif dan pengalaman manusia selalu diukur hanya dengan hitungan
matematis tanpa mengikutsertakan unsur lain (Rahardjo, 1966).

ATOMISTIK
Realitas zaman ini menunjukkan adanya tuntutan akan adanya sebuah upaya
mengkhususkan dan spesialisasi yang tinggi, sehingga sains menjadi benarbenar
bersifat terpish-pisah dan tanpa ada dialog sedikit-pun antar satu elemen
dengan elemen lainnya. Zaman ini hanya mengenal eksperimentasi dan ilmu
atau sains yang tidak berdasarkan eksperimen dianggap tidak ilmiah (Abidin,
1998). Pendekatan ini juga telah menyebabkan reduksi besar-besaran terhadap
sains (ilmu pengetahuan). Pendekatan sains (analitis) memecahkan masalah
menjadi unit-unit paling sederhana, dan lalu menyusunnya kembali menjadi
kesatuan- seperti yang disarankan oleh Descartes, tidak dapat berguna dengan
baik jika urusan dengan obyek-obyek kompleks seperti benda hidup. Karena
itu sains menjadi terlalu terbatas dan permasalahan-permasalahan manusia lolos
dari analisis sains. Dalam kajian tetang manusia, misalnya, sains modern dengan
penekanannya pada unit, kelompok, dan populasi daripada individu; pada
pemisahan daripada keterlibatan memiliki cacat yang cukup serius (Anes &
Danies, 1995)
Dari hal tersebut, teori obyektif yang berkembang seperti teori Descartes
terus mendapat gugatan. Gugatan itu muncul karena ilmu pengetahuan (sains)
hanya bisa dibilang obyektif jika, antara lain, tidak tercampuri oleh keyakinankeyakinan
atau nilai-nilai manusia: obyektif, memang, berarti sesuai belaka dengan
obyek a priori, dengan fakta telanjang. Serang terhadap teori-teori ini semakin
gencar dilakukan oleh para sainstis mengingat sains menjadi terlalu liar dalam
menjawab kebutuhan hidup manusia. Tesis pokok yang sering dikemukakan
adalah bahwa manusia menciptakan dunia sebagaimana yang ia pahami dengan
pencerapannya. Bukannya karena tidak ada realitas di luar diri manusia, tetapi
karena manusia menyeleksi realitas yang dilihat sesuai dengan kepercayaannya
tentang dunia macam apa tempat ia hidup. Sebagai contoh, orang yang percaya
bahwa jika sesuatu itu baik untuk anda, maka lebih banyak lebih baik , akan
merasa tak bersalah untuk mengeksploitasi alam habis-habisan. Yang harus
dilakukan manusia untuk mengubah kepercayaan berdasarkan pencerapan itu,
yang dikatakan oleh Bateson sebagai premis-premis epistemologisnya, adalah
bahwa manusia pertama kali mesti waspada bahwa realitas tidak seharusnya
seperti yang dipercayainya.
Karenanya Syed Naquib Al-Attas menyatakan bahwa visi intelektual dan
psikologis dari peradaban itulah yang memainkan peranan menentukan dalam
perumusan dan penyebaran sains sejati. Hal ini sekaligus mengkritik adanya
asumsi bahwa rasionalisme ilmiah yang tidak pernah berubah telah membuat
segala sesuatu dengan cara yang eksakta hingga manusia tidak mempunyai
kekuatan intervensi untuk kepentingan dirinya. Realitas sains yang tertutup dan
yang hanya mengabdi pada kepentingan kekuasaan telah menciptakan
ketidakadilan di dunia ini (Crick, 1994) Wajah sains ini tentu tidak bisa dilepaskan
dari faktor paradigma sains modern yang telah menempatkan manusia sebagai
realitas material belaka, sains modern (baca: kisah lama) mencari analogi-analogi
antara tingkah laku manusia dengan cara kerja mesin.
Sebagaimana mesin mempunyai daya penggerak, misalnya dalam rupa uap
air, listrik ataupun proses pembakaran, dalam diri manusia juga terdapat instinginsting
dan hasrat-hasrat yang merupakan pusat tindakan manusia. Pikiran
manusia dianggap tidak mampu mengambil peranan untuk mengatur semuanya
karena pikiran pada hakekatnya adalah produk dari materi. Maka satu-satunya
kunci untuk memahami psikologi manusia adalah insting dan hasrat sebagai
sumber kekuatan pengatur manusia yang utama. Dalam sains modern tidak
diakui adanya insting yang paling dasar. Mereka hanya disebut sebagai takut
akan kematian (Hobbes), kelaparan (Malthus), ataupun insting seks (Freud).
Demikian juga pandangan Hobbes, yang sangat dipengaruhi oleh Galileo, sangat
mengagumi ilmu eksperimental dan ingin menerapkan materialisme pada
manusia dengan harapan mampu memperoleh sebuah pemahaman baru
mengenai manusia yang dianggap sebagai materi belaka. Demikian juga Freud
yang juga terpengaruh oleh Hobbes tentang anggapan bahwa manusia adalah
materi belaka.
Dari uraian tersebut, karakter sains modern pada dasarnya memiliki problem
dalam hal ontologis, epistemologis dan aksiologisnya. Pertama, problem
ontologisnya muncul karena sains modern bercorak materialistik, mekanistik
dan atomistik. Kedua, problem epistemologisnya muncul karena sains modern
bercorak rasionalistik dan empirisis-positivistik dalam mengamati realitas
kongkret. Ketiga, problem aksiologisnya muncul karena sains modern itu
menganut paham bebas nilai, humanistik, dan individualistik.(Bagus, 2000; Honer
& Hunt, 1997; Abdullah, 1996)

RESPONS ISLAM
Ketika agama pertama kali berjumpa dengan sains modern, perjumpaan itu
bersifat bersahabat. Kebanyakan penggagas revolusi ilmiah (sainstifik) adalah
orang-orang Kristen taat yang berkeyakinan bahwa tujuan kerja pada hakikatnya
adalah mempelajari ciptaan Tuhan. Pada abad ke-18, beberapa ilmuwan
berkeyakinan bahwa Tuhan Sang pencipta Perancang Alam Semesta-bukan
lagi Tuhan yang personal-terlibat aktif dalam kehidupan manusia dan dunia.
Pada abad ke-19, sejumlah ilmuwan mengabaikan agama-kendati pun Darwin
sendiri masih berkeyakinan bahwa proses evolusi (bukan detail dari spesies
tertentu) merupakan kehendak Tuhan itu sendiri( Barbour, 2000).
Namun demikian, ketika sains menampakkan cara kerja dan produknya yang
bersifat konfliktual, yang mengancam norma-norma ajaran agama yan dianggap
baku, muncullah berbagai variasi paradigma di kalangan agamawan untuk
menjawab perkembangan sains yang pesat itu. Meski jawaban kaum agamawan
hingga saaat ini masih terus mengekor kepada sains, karena mereka tidak
mampu mengejar kemajuan dan perkembangan sains yang mempunyai hitunghitungan
pasti, sementara itu agama tidak mempunyai hitung-hitungan pasti.
Di tengah-tengah gempuran arus rasionalisme, empirisisme dan positivisme
tersebut, kaum agamawan berusaha mencari alternatif yang genuine untuk
mengejar ketertinggalan yang dialaminya, baik dengan wujud menerima sains
modern maupun mengkritiknya.
Menurut Pervez Hoodhhoy, respons para saintis Islam terhadap sains modern
yang bisa digunakan untuk memberikan kerangka analisis yang berguna bagi
kita untuk menelaah persoalan-persoalan berkembangnya suatu masyarakat
yang rasional dan yang berorientasi sains di dunia Islam setidaknya terdapat
tiga kelompok.(Hoodhboy, 1996)

KAUM RESTORASIONIS
Bagi kaum Muslim, respons kaum restorasionis merupakan respons yang paling
nyata. Respons kaum restorasionis mencoba memulihkan beberapa versi ideal
di masa lampau, dan menyebutkan semua kegagalan dan kekalahan sampai
penyimpangan jalan yang lurus. Mulai dari negara sekular Mesir sampai Kerajaan
Islam Wahabi Arab Saudi, dari negara Syi ah Revolusioner Khomenei sampai
Republik Islam Pakistan, tidak putus-putusnya seruan perang suci melawan
sekularisme, rasionalisme, dan universalime. Karena itu sains modern dianggap
sebagai wujud penyembahan terhadap manusia yang berlebihan karena
semuanya diukur oleh kebutuhan kemanusiaan sebagai makhluk sekular. Apalagi
sains modern tidak dibimbing oleh nilai moral (etika), tetapi dibimbing oleh
materialisme murni dan kesombongan. Seluruh cabang pengetahuan dan
penerapannya tercemari dengan kejahatan yang sama. Sains dan teknologi
sepenuhnya bergantung pada kumpulan ide-ide dan nilai-nilai yang dihargai
oleh anggota-anggotanya sendiri.
Kaum restorasionis itu memiliki rekomendasi dalam membangun sains sebagai
berikut: Pertama, tidak boleh ada fenomena atau fakta disebut tanpa merujuk
kepada kebijakan Allah. Kedua, pengarang sains haruslah orang yang taat
beragama. Ketiga, semua kejadian alam -seperti hidrogen menjadi air harus
dinisbatkan kepada Allah. Keempat, pembahasan sains harus memuat ayat-ayat
al-Qur an. Kelima, kelahiran semua sains harus dikembalikan kepada Ibn Sina,
Jabir Ibn Hayyan, dan sebagainya.
Pola pikir ini pada dasarnya ingin menyatakan bahwa semua kejadian merupakan
kehendak Allah, sehingga tidak ada kejadian yang diluar kehendak dan kekuasaan
Allah. Akibatnya, kaum restorasionis tidak memberikan ruang kepada manusia
untuk berbuat kreatif dan kritis. Paradigma kaum restorasionis ini adalah antimodernisme
dan anti-sainstime.

KAUM REKONSTRUKSIONIS
Posisi kaum rekonstruksionis bertentangan dengan kaum restorasionis yang
anti-modernitas dan anti-sains. Kaum rekonstruksionis menafsirkan kembali
keimanan untuk mendamaikan tuntutan peradaban modern dengan ajaran dan
tradisi Islam. Kelompk ini mengatakan bahwa Islam selama periode Nabi
dan Sahabat bersifat revolusioner, progresif, liberal, dan rasional. Masa setelah
itu yang condong kepada dogmatisme reaksioner yang terus melemah adalah
berasal dari keberhasilan taqlid atas ijtihad. Rasionalisasi terhadap semua ajaran
Islam menjadi poin inti kelompok ini sebagaimana yang digalakkan oleh Syed
Ahmed Khan dan kawan-kawan.
Pembelaan para tokoh rekonstruksionis terhadap sains dan filsafat dirangkaikan
dengan liberalisme umum terhadap masalah-masalah kepentingan sosial-budaya.
Misalnya, mereka menolak poligami dan purdah karena dianggap sebagai
sesuatu yang tidak sesuai dengan zaman modern dan menafsirkan perang
intelektual sebagai arti sebenarnya dari jihad. Mereka menegaskan bahwa Nabi
berperang murni untuk mempertahankan diri. Demikian juga dengan hukum
potong tangan bagi pencuri atau pelemparan batu bagi penzina hanya sesuai
dengan masyarakat kesukuan yang kekurangan penjara.

KAUM PRAGMATIS
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa mayoritas kaum Muslim yang
bungkam sekarang ini berasal dari golongan pragmatis. Mereka lebih suka
memperlakukan persyaratan-persyaratan agama dan keimanan sebagai sesuatu
yang secara esensial tidak langsung berkaitan dengan masalah kehidupan politik
dan ekonmi, atau dengan sains dan pengetahuan sekular. Kaum pragmatis
merasa puas dengan kayakinan samar bahwa Islam dan modernitas tidak
bertentangan, tetapi mereka enggan menguji masalah-masalah tersebut dengan
lebih dalam. Misalnya, Jamaluddin al-Afgani sebagai salah satu tokohnya tidak
menafsirkan kembali teologi Islam sebagaimana pernah dilakukan oleh tokoh
sezamannya, Syed Ahmed Khan, dalam menjawab setiap perkembangan zaman.
Sebaliknya, al-Afgani menekankan Islam sebagai kekuatan terpadu untuk
menentang kolonial Barat. Sumbangannya yang nampak dalam masyarakat
Islam adalah penentangannya terhadap semua dominasi asing dalam dunia
Islam.
Kelompok ini mempunyai kelemahaman dalam persoalan peletakkan ajaran
Islam karena hanya menjadikan ajaran Islam sebagai legitimasi setiap tindakan
praktisnya tanpa ada upaya kritis dan kreatif dalam menjawab setiap
perkembangan zaman.
Selanjutnya, respons tiga kelmpok tersebut sama tidak memadainya dengan
tawaran teori-teori sains yang digagas beberapa tokoh berikut ini: (a) Maurice
Bucaille, yang meminta para pembaca kitab suci (al-Qur an dan Bibel) untuk
merenungkan dengan beberapa fakta ilmiah. Setelah merenungkan dan
mendapatkan berbagai pengertian yang didapat ayat-ayat itu, dia menghimbau
untuk menarik satu yang sesuai dengan beberapa fakta ilmiah. Namun dari
berbagai penelitiannya terhadap kitab suci, dia menyimpulkan bahwa, apabila
Bibel sering salah dalam menggambarkan gejala alam, maka al-Qur an selalu
benar dan dengan tepat mengantisipasi semua penemuan-penemuan besar
sains modern. Lebih jauh lagi, kesalahan-kesalahan sainstifik yang terkandung
dalam Bibel bisa ditemukan dalam genealogi-genealogi (catatan keturunan
famili) yang ada dalam Genesis, sementara itu kesalahan-kesalahan tersebut
tidak ditemukan dalam al-Qur an. (Bucaille, 1998) Walaupun demikian, kita
akan segera melihat beberapa kelemahan teori berpikir ini secara metodologis;
Pertama, terlihat bahwa bukti dari suatu proposisi hanya akan bermakna jika
kemungkinan ketidakterbuktian proposisi itu juga ditampakkan. Karena itu
seorang Muslim sudah meyakini sejak mulai awal tentang kebenaran dan
kemustahilan kesalahan al-Qur an, maka sejak awal segala aktivitas penelitian
dan pembuktiannya sudah bisa ditegaskan kebenarannya dan kemustahilan
salahnya. Kedua, adalah berada dalam keadaan bahaya kalau kita
menggantungkan sebuah kebenaran abadi pada teori sains yang selalu berubah.
Kita akan selalu berhadapan dengan temuan-temuan baru yang terus bergulir
yang tidak akan kunjung selesai selama kegiatan penelitian dan pemikiran terus
berlajan. Sains sudah pasti tidak akan memberikan kelonggaran dalam menilai
dan menetapkan benar tidaknya sebuah fenomena dan kejadian alam ini.
Misalnya, teori Bucaille menegaskan bahwa alam semesta yang selalu
mengembang akan mendapatkan tantangan keras kalau seandainya nanti ada
penemuan baru yang mengatakan alam semesta mengerut bukan mengembang.
Karena itu kita perlu memposisikan al-Qur an bukan sebagai alat untuk melihat
keadaan diamnya bumi atau bergeraknya. Begitu juga, tidak dibuktikan dari
al-Qur an bahwa matahari diam. Sedang posisi al-Qur an adalah untuk
memperbaiki dan menyempurnakan moralitas (baca: transcendental etik).
Dengan kata lain, kita perlu membiarkan kebenaran sains ditegakkan oleh
pangamatan dan percobaan, dan bukan oleh usaha untuk menafsirkan teksteks
agama sebagai suatu buku sains. (b) Demikian juga kita harus menghindari
keterjebakan pada pemikiran Seyyed Hossein Nasr yang terlalu spekulatif
dalam mengkritik sains Barat. Nasr mengatakan bahwa sains Barat harus
ditinggalkan karena apapun yang diyakini seorang ilmuwan (saintis) Islam tidak
akan mampu mencegah dampak-dampak negatif dari sains Barat itu walaupun
ia sebagai seorang yang taat beragama. Sedang tawaran sains islami Nasr adalah
sains yang muncul dari intelek yang bersifat ilahiah dan bukan akal
manusia .kedudukan intelek adalah di hati bukan di kepala, dan akal tidak
lebih daripada pantulan ruhaniah (Nasr, 1982, 1994, 1996). Yang terakhir (c)
adalah Ziauddin Sardar yang mengkritisi teori al-Faruqi yang menyatakan bahwa
al-Faruqi salah alamat ketika mengharuskan Islam harus sesuai dengan kebenaran
sains. Padahal, menurut Sardar, justru sains itulah yang perlu menyesuaikan diri
dengan Islam. Kelemahan teori Sardar ini jatuh pada model berpikir
rekonstruksionis.

PARADIGMA SAINS KONTEMPORER
Untuk itu, paradigma sains kontemporer (baca: sains masa kini) perlu
menyuguhkan sesuatu yang bisa menjadi pendorong bagi kemajuan dan
kemaslahatan umat manusia. Namun demikian yang perlu diingat adalah bahwa
sains ini perlu merujuk kepada nilai-nilai transcendental-etik, yaitu dengan
menggunakan paradigma berpikir yang bisa memenuhi kebutuhan masa kini
dengan tanpa meninggalkan paradigma rasional dan empiris-positivis. (Barbaur,
2000). Hal ini penting mengingat sains modern terlalu lekat dengan rasionalisme
dan empirisisme-nya, dan sains Islam lekat dengan dogmatisme-teologisnya.
Dengan demikian, paradigma sains kontemporer perlu terus memberikan
respons yang intensif terhadap realitas aktual melalui pendekatan integrasi
dalam menghadapi setiap perubahan realitas sosial-budaya. Melalui ini,
pemahaman (teori) sains akan membuka ruang baru yang bisa mendukung
para saintis untuk memandang perkembangan sains dari perspektif yang
lebih luas. Dalam pola pikir ini, pemahaman sains tidak lagi muncul sebagai
sebuah entitas yang rigid dan berkembang secara linier; dari realitas sekular
maupun religius, melainkan seperti sebuah tumbuhan yang bercabangcabang
dalam realitas sosial-budaya. Dengan kata lain, bagian-bagiannya
saling terkait secara dialogis. (Abdulla, 2004)
Pemahaman sains yang dikembangkan melalui realitas sosial-budaya juga
mempunyai dampak demistifikasi sains secara institusional maupun
epistemologis. Karenanya kita sekarang perlu meninggalkan kesan dikotomis
antara sains sekular (modern) atau sains Islam. Hal ini sebagai usaha untuk
menghindari sains yang bersifat politis-ideologis sebagaimana yang terjadi pada
Abad Pertengahan yang anti-kritik dan abad modern yang in-human. Tanpa
menafikan hasil kreatifitas manusia dan nilai-nilai fitriah manusia yang religius,
pemahaman sains pada hakikatnya muncul dari realitas kehidupan manusia
untuk mendukung semua kebutuhan hidup manusia. Karena sains bukan hasil
dari refleksi sekumpulan kitab suci semata dan juga bukan hasil refleksi dari
realitas kehidupan manusia yang sekular semata, kita sekarang perlu meletakkan
pemahaman sains sebagai realitas yang perlu terus didiskusikan untuk menjawab
setiap perubahan, baik perubahan ruang, waktu, maupun pradigma berpikir
itu sendiri. (Abdullah, 2003) Respons terhadap dimensi sosial-budaya sains
perlu sebagai upaya untuk membuktikan bahwa pengetahuan tidaklah tunggal
dan tidak monolitik. Dengan demikian, adanya kepercayaan yang menyatakan
bahwa hanya ada satu paradigma dalam melihat alam itu bertentangan dengan
hakikat manusia sebagai makhluk multikultural dan multireligius. Demikian
juga sama mustahilnya ketika berbicara keaneragaman pola piker/ paradigma
tanpa ada titik temu, yang transcendental-etik .
Namun bukan berarti kita akan menganjurkan adanya relativitas, baik sains
Islam maupun sains modern, tetapi yang ingin dikatakan adalah bahwa kita
perlu menancapkan obyektifitas sains yang mempunyai makna sejauh . (rapar,
1996, Habermas, 1971, Scruton, 1995) Artinya, nilai obyektifitas sains perlu
diletakkan dalam masing-masing sudut pandang realitas sosial-budaya dengan
tanpa meninggalkan arti penting titik temu; transcendental-etik. Karenanya kita
saat ini tidak lagi berbicara sains Islam atau sains modern sebagai alat jastifikasi,
tetapi yang dibicarakan adalah bagaimana sains itu benar-benar relevan baik
secara konteptual maupun praktis dengan kemaslahatan umat manusia.
Persoalan pembelaan terhadap sains Islam yang bersifat dogmatik-teologis
dan sains modern yang bersifat obyektif-positivistif perlu digugat karena telah
melupakan hakikat manusia yang bersifat sekular-material dan sekaligus religiusimmaterial.
Dari hal ini, kita sekarang bisa mempertimbangkan paradigma
sains yang ditawarkan oleh Al-Farabi yang mengupayakan agar sains
memberikan kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebagaimana ia menyatakan bahwa
kebahagiaan tertinggi dalam kehidupan nanti (al-sa adah al-akhirah)
mensyaratkan kebahagiaan dalam kehidupan sekarang (al-saadah al-dunya), yang
disebutnya dengan kesempurnaan awal manusia . (Al-Farabi, 1997) Dengan
demikian, Al-Farabi pada dasarnya ingin mengatakan bahwa al-saadah al-akhirah
sangat ditentukan oleh kebajikan dan kerja-kerja sains saat ini dan al-saadah alakhirah
sebagai realitas (baca: postulat rasio praktis) yang memberikan keleluasaan
bagi intuisi (baca: irfan) manusia untuk membaca realitas metafisik dapat menjadi
kekuatan transcendental-etik di antara masing-masing elemen epistem; rasio,
materi, dan intuisi tanpa ada dominasi diantara salah satu epistemnya, yang
dalam istilah penulis disebut kebenaran sejauh sebagai paradigma sains yang
integral di masa kini. Dari sini, penulis mendukung paradigma sainsnya
Armahedi Mahzar berikut (Mahzar, 2004):


Tabel
Skema Integralisme Islam




Kategori Integralisme   Ontologi(Kalam)           Epistemologi(Tasawwuf)    Aksiologi(Fiqh)


Esensi (Sumber)               Prinsip Nilai)                     Program (Informasi)            Maha Pencipta (Dzatullah)
Keserasian (Sifatullah)      Kesadaran ( Amrullah)      Iman (Ruh)                         Intuisi (Qalb/ Hati)
Akal( Aql)                       Transendental (Qur ani)     Universal (Sunna)               Kultural (Ijtihadi)
Proses (Enegri)                Struktur (Materi)               Kehidupan (Sunnatullah)     Kebendaan (Khalqillah)
Naluri (Nafs)                   Indera (Jism)                     Sosial (Ijma )                      Instrumental (Urf)


Inilah paradigma integralisme Islam yang dimaksud dalam tulisan ini, sedang
dukungan penulis terhadap paradigma integralisme sains Islam dari Armahedi
Mahzar yang tertuang dalam tabel itu adalah untuk memperjelas dan
mempertegas uraian dari gagasan penulis tentang transcendental etik dan
teori keberanan sejauh yang diajukan dalam tulisan ini sebagai pembeda
dari paradigma sains modern. Selain itu, paradigma ini juga untuk membedakan
dan sekaligus mengkritik gagasan kaum restorasionis, rekonstruksionis, dan
pragmatis dari kalangan sainstis Muslim. Dengan demikian, paradigma sains
masa kini perlu dijalankan secara dialogis-kritis di antara masing-masing elemen,
baik ontologis, epistemologis dan aksilogis dengan memasukkan realitas spiritual,
selain unsur realitas rasional dan empiris-positivistik. Sedang upaya
mendialogkan secara kritis di antara unsur ontologis (apa), epistemologis
(bagaimana), dan aksiologis (untuk apa) akan saling memberikan makna. Unsur
ontologis akan menentukan unsur epistemology, dan unsur epistemologi juga
menentukan unsur aksiologi. Hal-hal yang mengantarai realitas spiritual, rasional
dan empiris-positivistik itulah yang diyakini akan adanya unsur transcendentaletik
dan kebenaran sejauh .

PENUTUP
Paradigma sains pada dasarnya berjalan secara bergelombang dalam
memposisikan realitas empiris, rasio, dan wahyu (baca: liberalisme dan
dogmatisme) yang pada akhirnya sains ketika berkembang mencapai puncaknya
di masa modern, ia menghadapi problem ontologis, epistemologis dan
aksiologis. Pertama, problem ontologisnya muncul karena sains modern
bercorak materialistik, mekanistik dan atomistic (reduksionistik). Kedua, problem
epistemologisnya muncul karena sains modern bercorak rasionalistik dan
empirisis-positivistik dalam mengamati realitas. Ketiga, problem aksiologisnya
muncul karena sains modern itu menganut paham bebas nilai, humanistik dan
individualistik. Dalam konteks ini, para sainstis Muslim berusaha menjawabnya
walaupun jawabannya sangat jauh dari rasa memadai, bahkan sering terjebak
kepada islamisasi yang tidak rasional dan dogmatik-teologis.
Dari hal tersebut, paradigma sains yang dibutuhkan masa kini adalah yang bisa
memberikan keleluasaan untuk membangun kemaslahatan umat manusia, yaitu;
paradigma sains yang meletakkan nilai rasionalisme, empirisme, positivisme
dan nilai intuisi (realitas spiritual) sebagai unsur epistemnya secara seimbang
dan dialogis-kritis. Dengan ditambahnya unsur intuisi, maka problem ontologis
dan aksiologis dari sains modern bisa dicari jalan keluarnya secara memadai.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Arkoun, Muhammad, 1992 Aina Huwa al-Fikr al-Mu ashir, terj. Hasyim Shaleh,
Beirut: Dar al-Saqi,
Abdullah, M. Amin, 2002, Antara Al-Gazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, terj.
Hamzah Bandung: Mizan,
Al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi, 1997, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj.
Ahmad Rofi Utsmani, Bandung: Pustaka,
Al-Qusyairi, Abu Qasim Abd al-Karim, 1959 Al-Risalah, Mesir: Beirut,
Al-Jabiri, Muhammad Abid, 1993, Bunyah al-Aql al-Arabi, Beirut: al-Markaz
Tsaqafi al-Arabi,
Bakar, Osman, (ed.), 1996, Evolusi Ruhani; Kritik Perenial Teori Darwin, terj. Eva
Y. Nukman, Bandung: Mizan,
Barbour, Ian G., 2000, Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama, terj. E.R.
Muhamad, Bandung: Mizan,
Bagus, Lorens, 2000, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia,
Baidowi, Ahmad, dkk, (peny.), 2003, Rekosntruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman,
Yogyakarta: SUKA-Press,
Bertens, K., 1999, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius,
Bucaille, Maurice, 1998, Asal-Usul Manusia Menurut Bibel Al-Qur an Sains, terj.
Rahmani Astuti, Bandung: Mizan,
Crick, Francis, 1994, The Astonishing Hypothesis: The Scientific Search for the Soul
New York: Scribner,
Ghulsyani, Mahdi, 1998, Filsafat Sains Menurut Al-Qur an, terj. Agus Effendi,
Bandung: Mizan,
Habermas, Jurge, 1971, Knowledge and Human Interests, trans. by Jeremy J. Shapiro,
Boston: Beacon Press,
Hoodhhoy, Pervez, 1996, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas; A ntara Sains dan
Ortodoksi Islam, terj. Sari Meutia, Bandung: Mizan,
Iqbal, Muzaffar, 2002, Islam dan Science, England: Asgate,
Jurnal Al-Hikmah, No 15, Vol.VI/ 1995
Kuntowijoyo, 1993, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung:Mizan,
Mahzar, Armahedi, 2004, Melampaui Paradigma Holistik: Sintesa Integralisme Islam
Pos-Newtonian, Makalah disampaikan pada Acara Seminar IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta
Muzani, Saiful, (ed.), 1996, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun
Nasution, Bandung: Mizan,
Muhadjir, Noeng, 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin,
Noor, Kautsar Azhari, 2002, Tasawuf Parennial; Kearifan kritis Kaum Sufi, Jakarta:
PT Serambi Ilmu Semesta,
Nasr, Sayyed Hossein, 1982, Islam and Contemporary Society, London: Logman
Group,
Rapar, Jan Hendrik, 1996, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius,
Rahardjo, M. Dawam, 1996, Intelektual Intelgensia dan Perilaku Politik Bangsa:
Risalah Cendekiawan Muslim, Bandung: Mizan,
Runes, Dagobert D., 1976, Dictionary of Philosophy, New Jarsey: Little Field,
Soetomo, Greg, 1995, Sains dan Problem Ketuhanan, Yogyakarta: Kanisius,
Syahrur, Muhammad, 1994, Dirasah al-Islamiyah Mu ashirah, Beirut: Damaskus,
Suriasumantri, Jujun S., (peny), 1997, Ilmu dalam Perspektif; Sebuah Kumpulan
Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
Suseno, Franz Magnis-,1997, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad
ke-19, Yogyakarta: Kanisius,
Scruton, Roger,1995, A Short History of Modern Philosophy fron Descartes to
Wittgenstein, New York: Routledge,
Tim Dosen (peny.),2001, Filsafat Ilmu, Yogyakrta: Liberty,
Titus, Harold H., dkk.,1984, Persoalan-persoalan Filsafat, terj. M. Rasyidi, Jakarta:
Bulang Bintang,
Yinger, J. Milton,1957, The Science Study of Religion, New York: Macmillan,

Oleh : Moh Dahlan.Alumni Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
 11 januari 2011 jam 13:41:45

0 komentar:

Posting Komentar