Kamis, 03 Januari 2013

INTEGRASI-INTERKONEKSI UIN SUNAN KALIJAGA

Prolog:

Terminologi integrasi-interkoneksi mulai ramai diperbincangkan di kalangan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga seiring dengan proses transformasi dari IAIN menuju UIN delapan tahun silam, tepatnya tahun 2004. Transformasi menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga ini berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama Nomor 01/0/SKB/2004 dan Nomor ND/B.V/I/Hk.001/058/04 Tanggal 23 Januari 2004, yang diperkuat lagi dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2004 Tanggal 21 Juni 2004. 


Proses transformasi ini dilakukan atas keinginan kuat dari segenap stakeholders dan civitas akademika agar lembaga yang semula bernama PTAIN ini berkembang menjadi center of excellent terutama dalam bidang ilmu-ilmu keislaman. Untuk menjawab tantangan itu kemudian dibentuklah tiga tim kelompok kerja (pokja) akademik, menejemen dan administrasi umum. Penulis sendiri terpilih sebagai anggota pokja menejemen yang di antara hasil kerja besarnya adalah lahirnya rumusan visi dan missi UIN Sunan Kalijaga. Sebuah perjalanan terjal dan “berdarah-darah” yang tidak mungkin hilang dari rekaman sejarah hidup penulis. Ketiga tim pokja itu melakukan tugasnya masing-masing guna menghasilkan rumusan besar tentang sosok UIN Sunan Kalijaga yang “integratif-interkonektif”.
I
ntegratif-interkonektif: Kegelisahan Intelektual?
Istilah integratif-interkonektif digagas dan diwacanakan oleh Prof. Amin Abdullah (selanjutnya: AA) yang pada saat itu menjabat sebagai Rektor IAIN Sunan Kalijaga untuk periode pertama (2001-2005). Sosok ilmuan sejati yang luas dikenal sebagai filosof itu begitu semangat dan antusiasnya untuk mendesiminasikan gagasannya tersebut. Berbagai forum digelar untuk mendiskusikan secara intensif, akademik dan komprehensif bagaimana dan seperti apa wujud dari “makhluk” yang bernama integrasi-interkoneksi itu. Banyak kritik dan cemoohan dari berbagai kalangan dan latar keilmuan akademisi yang datang, baik dari internal kampus ataupun yang dari luar.

Namun demikian, semua itu tidak menyurutkan semangat beliau untuk mewujudkan impiannya, “membumikan” integrasi-interkoneksi di dunia kampus sehingga akrab dan menjadi worldview bahkan mengkerak menjadi mindset ideologi semua insan akademis khususnya dan umat manusia umumnya. Beliau yakin bahwa integrasi-interkoneksi atau lengkapnya integrasi-interkoneksi ilmu Keislaman (disingkat 3IK) adalah solusi paling tepat dalam menjawab problem sosial kemanusiaan terutama yang berkaitan dengan keislaman dan keindonesiaan.

Dengan berbekal kekayaan literatur yang sudah dijelajah dan keluasan pengalaman berdialog dalam berbagai forum, baik lokal atau internasional, AA merumuskan 3IK sebagai sebuah paradigma keilmuan. Bagi AA, 3IK adalah sintesa dari realitas historis keilmuan keislaman yang selama ini tegak kokoh berdiri bak menara gading tanpa membutuhkan dan perduli dengan keilmuan yang lain (single entity). Seorang faqih dianggap sebagai sosok yang paling otoritatif bicara Islam dibanding seorang muhaddis, muarrikh, muaddib ataupun mufassir. Begitu juga sebaliknya.

Bila kondisi ini dibiarkan maka Islam dan umat Islam akan tertinggal dan ditinggal jauh oleh pesatnya akselerasi kemajuan peradaban. Bangunan keilmuan keislaman yang menjadikan teks/nash sebagai sumber kebenaran dengan pola nalar yang deduktif Aristotelian ini memiliki kelemahan cukup mendasar, yaitu tidak akrab dengan realitas (lack of empiricism) juga lemah secara metodologis. Kelemahan ini diperparah lagi dengan tarikan interes-interes personal yang begitu kuat karena rapuhnya benteng moral yang dimiliki. Selain pola pandang yang sempit (narrow mindedness) dan myopic juga kerdilnya mentalitas keilmuan untuk menerima kebenaran dari mana saja datangnya (open minded) semakin menambah absurditas keadaan.

Berbagai kelemahan dan kekurangan yang potensial dimiliki oleh ilmu keislaman ini dalam pandangan AA meniscayakan diri pada ilmu keislaman untuk berbesar hati bertegur sapa dengan ilmu-ilmu “diluar” islam seperti sains, social sciences dan humanities. Dengan membina hubungan yang harmonis dan sinergis ini, 3IK diyakini bisa menjawab sederet problem sosial kekinian seperti Globalization, Migration, Scientific & technological revolutions, Space exploration, Archaeological discoveries, Evolution and genetics, Public education and literacy, Increased understanding of the dignity of human person, Greater interfaith interaction, The emergence of nation-states dan Gender equality.

Ada tiga ranah 3IK yang bisa dilakukan yaitu filosofis, materi, metodologi dan strategi. Menurut AA, 3IK pada ranah filosofis adalah berupa suatu penyadaran eksistensial bahwa suatu disiplin ilmu selalu bergantung pada disiplin ilmu lainnya. Sedangkan 3IK pada ranah materi adalah suatu proses bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai kebenaran universal umumnya dan keislaman khususnya ke dalam pengajaran matakuliah umum, dan sebaliknya, ilmu-ilmu umum ke dalam kajian-kajian keagamaan dan keislaman. Adapun 3IK pada ranah ilmu ada tiga model, yaitu Model Pengintegrasian ke dalam Paket Kurikulum; Model Penamaan Matakuliah yang menunjukkan hubungan antara dua disiplin ilmu umum dan keislaman; Model Pengintegrasian ke dalam tema-tema matakuliah. Untuk 3IK pada ranah metodologi AA, memberikan catatan ketika sebuah disiplin ilmu dintegrasikan atau diinterkoneksikan dengan disiplin ilmu lain, maka secara metodologis harus menggunakan pendekatan dan metode yang aman bagi ilmu tersebut. Pada ranah terakhir, strategi AA menekankan bahwa pembelajaran dengan model active learning dengan berbagai strategi dan metodenya menjadi suatu keharusan.

Integrasi-Interkoneksi: Branding or Islamic Paradigm?
Mencermati sejarah lahirnya 3IK dari kegelisahan intelektual seorang AA melihat realitas sosial keagamaan yang berlangsung di masyarakat dan dilontarkan bersamaan dengan proses transformasi UIN dari IAIN menjadi wajar bila menimbulkan kontroversi dan multitafsir. Baik dari perspektif teoritis keilmuan ataupun dalam perspektif praksis-politis. Perdebatan yang berlangsung hingga saat inipun tetap berporos pada dua arus utama pemaknaan tersebut.

Dalam perspektif keilmuan, rumusan 3IK sebagai sebuah paradigma keilmuan hasil dari “integrasi” berbagai jenis disiplin keilmuan (barat- timur, islam-non islam, akhirat-dunia, tradisional-modern) adalah suatu logika yang hingga saat ini sulit dipahami oleh sementara kalangan, kalau “integrasi” yang dimaksud adalah pada wilayah epistemologi dari keilmuan masing-masing. Hal tersebut ibarat A + B = C. Bagaimana mungkin menghasilkan C? Bukankah lebih rasional bila A + B = AB? Semisal Fikih + Kimiawi = Fikih-Kimia atau Kimia-Fikih. Kalau tidak demikian maka yang terjadi adalah 3IK ini sebenarnya tiada lain adalah melanjutkan proyek islamisasi ilmu pengetahuan (islamization of knowledge) yang dicetuskan oleh Syed Naquib al-Attas dan dipopulerkan oleh Ismail R. al-Faruqi yang sudah dianggap gagal itu.

Bila dicermati dari kelima ranah 3IK seperti dijelaskan oleh AA di atas terlihat bahwa yang dimaksud dengan integrasi bukanlah pada epistemologi tapi lebih pada wilayah aksiologinya. Namun demikian bila difahami bahwa ontologi-epistemologi-aksiologi adalah satu kesatuan bangunan keilmuan yang tidak bisa dipisah dan terpisah, pemahaman mengenai 3IK dalam arti integrasi antara dua entitas menjadi satu entitas baru semakin sulit ditangkap maksudnya. Dengan demikian maka yang paling mudah difahami dari maksud 3IK ini adalah pendekatan interdisipliner. Apabila tidak mau disebut sebagai istilah lain dari pendekatan interdisipliner dan juga menyangkal sebagai penerus islamisasi ilmu pengetahuan dengan kemasan baru, maka seperti apa yang disinyalir oleh Machasin dari awal bahwa 3IK sebenarnya tiada lain dari sekedar branding bagi proyek transformasi IAIN ke UIN saja.

Al-Qur’an: Integrasi-Interkoneksi Yang Sebenarnya
Mencermati kembali apa yang dijelaskan dan diinginkan oleh AA mengenai 3IK terutama pada keempat ranah tersebut di atas, penulis menduga AA terinspirasi oleh kitab suci al-Qur’an. Al-Qur’an adalah contoh konkrit dari paradigma keilmuan integrasi-interkoneksi keilmuan dalam arti yang sesungguhnya. Pada al-Qur’an semua sumber pengetahuan begitu terintegrasi dan terinterkoneksi dengan sangat baik. Setiap informasi ayat yang disampaikan di dalamnya terkandung nilai filosofis, etis, strategis, historis juga metodologis yang saling terintegrasi. Adanya munasabah surat dengan surat, ayat dengan surat, ayat dengan ayat dan bahkan akhir surat dengan awal surat membuktikan bahwa al-Qur’an secara keseluruhan adalah satu kesatuan bangunan “keilmuan” yang di dalamnya sudah terintegrasi berbagai nilai dan pendekatan juga strateginya. Oleh karena itulah dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an tidak boleh sepotong tapi harus utuh.

Penyusunan Al Qur’an telah menggunakan dasar-dasar pengetahuan atau metode keilmuan, juga merupakan penjelasan secara tidak langsung bahwa susunan surat-surat maupun ayat-ayat di dalam surat, sudah menggunakan sistimatika dan metode keilmuan. Sistim berasal dari bahasa Yunani, yaitu systema yang berarti keseluruhan yang bulat dan utuh. Dengan demikian kata sistim pada dasarnya dapat dijelaskan sebagai suatu kegiatan atau proses yang bersifat integratif dan transformatif dari seluruh komponen-komponen yang ada di dalamnya. Dikatakan integratif karena proses tersebut bersifat menyeluruh karena melibatkan seluruh komponen yang ada yang fungsinya berbeda-beda satu sama lain. Disebut transformatif karena dari proses yang melibatkan seluruh komponen-komponen yang tersebut kemudian menghasilkan sesuatu yang baru. Dengan demikian, suatu sistim mempunyai pengertian yang jauh berbeda dengan kumpulan, sebab kumpulan tidak menghasilkan sesuatu yang baru. Artinya adalah bahwa Al Qur’an bukan sekedar merupakan kumpulan surat-surat dan ayat-ayat, yang kemudian dikumpulkan menjadi satu. Tetapi lebih daripada itu, semua komponen-komponennya tersebut satu sama lainnya saling berinteraksi atau berhubungan sehingga mejadi satu kesatuan informasi yang utuh.
Ikhtitam

Demikianlah kalau benar apa yang penulis duga dari mimpi besar seorang AA dengan gagasan cerdasnya, 3IK, maka sebenarnya ia sudah melakukan ijtihad yang tidak sia-sia karena spirit gagasan yang dikandungnya sangat positif dan konstruktif serta inovatif. Merujuk apa yang dijanjiikan oleh Nabi SAW bahwa bila seorang muslim (mujtahid/hakim) melakukan ijtihad sebelum menentukan keputusannya dan ternyata hasilnya benar dihadapan Allah maka ia akan mendapatkan dua pahala sekaligus, ijtihad dan benar. Tapi apabila hasil dari ijtihadnya tidak benar seperti yang dimaksudkan oleh Syari’ maka iapun tetap akan memperoleh satu pahala, ijtihad.

Kalau tohpun ternyata penulis salah dalam memahami dan membaca maksud dari 3IK sebagaimana yang dikehendaki oleh AA, maka itu sesuatu yang ghalib terjadi meski secara hermeneutis pembaca tidak pernah bisa dipersalahkan dalam membaca kehendak penulis teks. Karena teks yang sudah dipublish sudah terlepas sepenuhnya dari otoritas penulis teks. Teks itu sudah sepenuhnya milik pembaca bukan lagi milik penulis. Lebih ekstrem lagi, tidak ada satupun yang mampu memahami secara tepat terhadap teks yang sudah dipublish oleh penulisnya, karena teks itu memiliki dunianya sendiri yang tidak bisa diklaim oleh siapapun, baik pembaca sekaligus penulis sekalipun sebagai yang paling benar dalam memahami maksudnya. Wa Allahu a’lamu bis shawab. Demikian semoga bermanfaat.

Sumber Referensi
Shofiyullah’s World
Diakses pada tanggal 1 januari 2013 jam 07.34

Pendekatan Pemaduan Islam dan Sains


PENDEKATAN  SAINS ISLAM :
Tokoh: Sayyed Hossein Nasr ,Ziauddin Sardar ,Maurice Bucaille
Gagasan :
 Perlunya etika islam untuk mengawal sains. Perlunya landasan epistemologi Islami untuk suatu sistem sains (“sains islam”)

PENAFSIRAN (SENTUHAN ) ISLAMI :
Tokoh : Mehdi Ghulsani, Bruno Guiderdoni

Gagasan :
tidak perlu membangun sains islam tetapi cukup memberikan penafsiran(sentuhan) islami terhadap sains yang ada saat ini


PENDEKATAN ISLAMISASI ILMU:
Tokoh : Naquib Al-Attas, Ismail Raji’ Al-Faruqi, Harun Yahya
Gagasan :
 hendaknya ada hubungan timbal-balik antara aspek realitas (sains/iptek) dan aspek kewahyuan (islam).


PENDEKATAN ISLAMISASI PENUNTUT ILMU :
Tokoh : Fazlur Rahman
Gagasan :
•Yang harus mengaitkan dirinya dengan nilai-nilai islam adalah pencari ilmu bukan ilmunya.


PENDEKATAN ILMUISASI ISLAM :
Tokoh : Prof. Dr. Kuntowijoyo (Alm)
Gagasan :
Perumusan teori ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada Al-Quran (menjadikan al-Quran sebagai suatu paradigma).


PENDEKATAN POHON ILMU :Tokoh : Prof. Dr. Imam Suprayogo (Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)Gagasan :
•Agama sebagai pengembangan sains.Sains dipandang merupakan bagian dari kajian keagamaan Islam.


PENDEKATAN INTEGRASI –INTERKONEKSI :
Tokoh : Prof.Dr. Amin Abdullah
Gagasan :
•Mempertemukan antara ilmu-ilmu agama islam (hadlarah al-nash) dan ilmu-ilmu umum (hadlarah al-’ilm) dengan filsafat (hadlarah al-falsafah


Sumber Referensi
Nurochman, M.Kom. UIN Sunan Kalijaga

Selasa, 01 Januari 2013

#STUDI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MODERN


STUDI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MODERN
Oleh : Hujair AH. Sanaky
A. Pendahuluan

Pendidikan Islam, suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam [Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, 1986 : 2], atau "Pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah [Abdurrahman an-Nahlawi, 1995 : 26]. Pendidikan Islam bukan sekedar "transfer of knowledge" ataupun "transfer of training", ....tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi keimanan dan kesalehan; suatu sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan [Roehan Achwan, 1991 : 50]. Pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam.

Dari pengertian di atas, pendidikan merupakan sistem untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspek kehidupan. Dalam sejarah umat manusia, hampir tidak ada kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai alat pembudayaan dan peningkatan kualitasnya. Pendidikan dibutuhkan untuk menyiapkan anak manusia demi menunjang perannya di masa datang. Upaya pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa memiliki hubungan yang signifikan dengan rekayasa bangsa tersebut di masa mendatang. Dengan demikian, "pendidikan merupakan sarana terbaik untuk menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka atau tidak menyadari adanya perkembangan-perkembangan disetiap cabang pengetahuan manusia" [Conference Book,London,1978 : 15-17].

Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan selalu berkembang, dan selalu dihadapkan pada perubahan zaman. Untuk itu, mau tak mau pendidikan harus didisain mengikuti irama perubahan tersebut, apabila pendidikan tidak didisain mengikuti irama perubahan, maka pendidikan akan ketinggalan dengan lajunya perkembangan zaman itu sendiri. Siklus perubahan pendidikan pada diagram di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut ; Pendidikan dari masyarakat, didisain mengikuti irama perubahan dan kebutuhan masyarakat. Misalnya; pada peradaban masyarakat agraris, pendidikan didisain relevan dengan irama perkembangan peradaban masyarakat agraris dan kebutuhan masyarakat pada era tersebut. Begitu juga pada peradaban masyarakat industrial dan informasi, pendidikan didisain mengikuti irama perubahan dan kebutuhan masyarakat pada era industri dan informasi, dan seterusnya. Demikian siklus perkembangan perubahan pendidikan, kalau tidak pendidikan akan ketinggalan dari perubahan zaman yang begitu cepat. Untuk itu perubahan pendidikan harus relevan dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat pada era tersebut, baik pada konsep, materi dan kurikulum, proses, fungsi serta tujuan lembaga-lembaga pendidikan.

Pendidikan Islam sekarang ini dihadapkan pada tantangan kehidupan manusia modern. Dengan demikian, pendidikan Islam harus diarahkan pada kebutuhan perubahan masyarakat modern. Dalam menghadapi suatu perubahan, "diperlukan suatu disain paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru, demikian kata filsuf Kuhn. Menurut Kuhn, apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan menggunakan paradigma lama, maka segala usaha yang dijalankan akan memenuhi kegagalan" (H.A.R.Tilar,1998 : 245). Untuk itu, pendidikan Islam perlu didisain untuk
menjawab tantangan prubahan zaman tersebut, baik pada sisi konsepnya, kurikulum, kualitas sumberdaya insaninya, lembaga-lembaga dan organisasinya, serta mengkonstruksinya agar dapat relevan dengan perubahan masyarakat tersebut.

B. Karakteristik Masyarakat Modern

Pendapat Alvin Tofler dalam bukunya The Third Wave (1980) yang bercerita tentang peradaban manusia, yaitu; (1) perdaban yang dibawa oleh penemuan pertanian, (2) peradaban yang diciptakan dan dikembangkan oleh revolusi industri, dan (3) peradaban baru yang tengah digerakan oleh revolusi komunikasi dan informasi. Perubahan tersebesar yang diakibatkan oleh gelombang ketiga adalah, terjadinya pergeseran yang mendasar dalam sikap dan tingkah laku masyarakat (M.Irsyad Sudiro, 1995 : 2). Salah satu ciri utama kehidupan di masa sekarang dan masa yang akan datang adalah cepatnya terjadi perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Banyak paradigma yang digunakan untuk menata kehidupan, baik kehidupan individual maupun kehidupan organisasi yang pada waktu yang lalu sudah mapan, kini menjadi ketinggalan zaman (Djamaluddin Ancok, 1998: 5). Secara umum masyakarat modern adalah masyarakat yang proaktif, individual, dan kompetitif.

Masyarakat modern dewasa ini yang ditandai dengan munculnya pasca industri [postindustrial society] seprti dikatakan Daniel Bell, atau masyarakat informasi [information society} sebagai tahapan ketiga dari perkembangan perdaban seperti dikatakan oleh Alvin Tofler, tak pelak lagi telah menjadikan kehidupan manusia secara teknologis memperoleh banyak kemudahan. Tetapi juga masyarakat modern menjumpai banyak paradoks dalam kehidupannya. Dalam bidang revolusi informasi, sebagaimana dikemukakan Donald Michael, juga terjadi ironi besara. Semakin banyak informasi dan semakin banyak pengetahuan mestinya makin besara kemampuan melakukan pengendalian umum. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, semakin banyak informasi telah menyebabkan semakin disadari bahwa segala sesuatunya tidak terkendali. Karena itu dengan ekstrim Ziauddin Sardar [1988], menyatakan bahwa abad informasi ternyata sama sekali bukan rahmat. Di masyarakat Barat, ia telah menimbulkan sejumlah besar persoalan, yang tidak ada pemecahannya kecuali cara pemecahan yang tumpul. Di lingkungan masyarakat kita sendiri misalnya, telah terjadi swastanisasi televisi, masyarakat mulai merasakan ekses negatifnya (Malik Fajar, 1995 : 3).

Keprihatinan Toynbee melihat perkembangan peradaban modern yang semakin kehilangan jangkar spritual dengan segala dampak destruktifnya pada berbagai dimensi kehidupan manusia. Manusia modern ibarat layang-layang putus tali, tidak mengenal secara pasti di mana tempat hinggap yang seharusnya. Teknologi yang tanpa kendali moral lebih merupakan ancaman. Dan "ancaman terhadap kehidupan sekarang" tulis Erich Fromm, "bukanlah ancaraman terhadap satu kelas, satu bangsa, tetapi merupakan ancaman terhadap semua" (Erich Fromm, dikutip : A. Syafi'i Ma'arif, 1997 : 7). Menurut A. Syafi'i Ma'arif, bahwa sistem pendidikan tinggi modern yang kini berkembang di seluruh dunia lebih merupakan pabrik doktor yang kemudian menjadi tukang-tukang tingkat tinggi, bukan melahirkan homo sapiens. Bangsa-bangsa Muslim pun terjebak dan terpasung dalam arus sekuler ini dalam penyelenggaraan pendidikan tingginya. Kita belum mampu menampilkan corak pendidikan alternatif terhadap arus besar high learning yang dominan dalam peradaban sekuler sekarang ini. Prinsip ekonomi yang menjadikan pasar sebagai agama baru masih sedang berada di atas angin. Manusia modern sangat tunduk kepada agama baru ini (A.Syafi'i Ma'arif, 1997 : 7-8).

Dampak dari semua kemajuan masyarakat modern, kini dirasakan demikian fundamental sifatnya. Ini dapat ditemui dari beberapa konsep yang diajukan oleh kalangan agamawan, ahli filsafat dan ilmuan sosial untuk menjelaskan persoalan yang dialami oleh masyarakat. Misalnya, konsep keterasingan (alienation) dari Marx dan Erich Fromm, dan konsep anomie dari Durkheim. Baik alienation maupun anomie mengacu kepada suatu keadaan dimana manusia secara personal sudah kehilangan keseimbangan diri dan ketidakberdayaan eksistensial akibat dari benturan struktural yang diciptakan sendiri. Dalam keadaan seperti ini, manusia tidak lagi merasakan dirinya sebagai pembawa aktif dari kekuatan dan kekayaannya, tetapi sebagai benda yang dimiskinkan, tergantung kepada kekuatan di luar dirinya, kepada siapa ia telah memproyeksikan substansi hayati dirinya (Kuntowijoyo, 1987., dikutip, A.Malik Fajar, 1995 : 4).

Semua persoalan fundamental yang dihadapi oleh masyarakat modern yang digambarkan di atas, "menjadi pemicu munculnya kesadaran epistemologis baru bahwa persoalan kemanusian tidak cukup diselesaikan dengan cara empirik rasional, tetapi perlu jawaban yang bersifat transendental" (A.Malik Fajar, 1995 : 4). Melihat persoalam ini, maka ada peluang bagi pendidikan Islam yang memiliki kandungan spritual keagamaan untuk menjawab tantangan perubahan tersebut. Fritjop Capra dalam buku The Turning Point, yang dikutip A.Malik Padjar (1995 : 4), "mengajak untuk meninggalkan paradigma keilmuan yang terlalu materialistik dengan mengenyampingkan aspek spritual keagamaan. Demikianlah, agama pada akhirnya dipandang sebagai alternatif paradigma yang dapat memberikan solusi secara mendasar terhadap persoalan kemanusian yang sedang dihadapi oleh masyarakat modern".

Mencermati fenomena peradaban modern yang dikemukakan di atas, harus bersikap arif dalam merespons fenomena-fenomena tersebut. Dalam arti, jangan melihat peradaban modern dari sisi unsur negatifnya saja, tetapi perlu juga merespons unsur-unsur posetifnya yang banyak memberikan manfaat dan mempengaruhi kehidupan manusia. Maka, yang perlu diatur adalah produk peradaban modern jangan sampai memperbudah manusia atau manusia menghambakan produk tersebut, tetapi manusia harus menjadi tuan, mengatur, dan memanfaatkan produk perabadaban modern tersebut secara maksimal.

C. Pendidikan Tradisional dan Modern

Pendidikan tradisional (konsep lama) sangat menekankan pentingnya penguasaan bahan pelajaran. Menurut konsep ini rasio ingatanlah yang memegang peranan penting dalam proses belajar di sekolah (Dimyati Machmud, 1979 : 3). Pendidikan tradisional telah menjadi sistem yang dominan di tingkat pendidikan dasar dan menengah sejak paruh kedua abak ke-19, dan mewakili puncak pencarian elektik atas 'satu sistem terbaik'. Ciri utama pendidikan tradisional termasuk : (1) anak-anak biasanya dikirim ke sekolah di dalam wilayah geografis distrik tertentu, (2) mereka kemudian dimasukkan ke kelas-kelas yang biasanya dibeda-bedakan berdasarkan umur, (3) anak-anak masuk sekolah di tiap tingkat menurut berapa usia mereka pada waktu itu, (4) mereka naik kelas setiap habis satu tahun ajaran, (5) prinsip sekolah otoritarian, anak-anak diharap menyesuaikan diri dengan tolok ukur perilaku yang sudah ada, (6) guru memikul tanggung jawab pengajaran, berpegang pada kurikulum yang sudah ditetapkan, (7) sebagian besar pelajaran diarahkan oleh guru dan berorientasi pada teks, (8) promosi tergantung pada penilaian guru, (9) kurikulum berpusat pada subjek pendidik, (10) bahan ajar yang paling umum tertera dalam kurikulum adalah buku-buku teks (Vernon Smith, dalam, Paulo Freire, dkk, 1999 : 164-165).

Lebih lanjut menurut Vernon Smith, pendidikan tradisional didasarkan pada beberapa asumsi yang umumnya diterima orang meski tidak disertai bukti keandalan atau kesahihan. Umpamanya: 1). ada suatu kumpulan pengetahuan dan keterampilan penting tertentu yang musti dipelajari anak-anak; 2). tempat terbaik bagi sebagian besar
anak untuk mempelajari unsur-unsur ini adalah sekolah formal, dan 3). cara terbaik supaya anak-anak bisa belajar adalah mengelompokkan mereka dalam kelas-kelas yang ditetapkan berdasarkan usia mereka (Vernon Smith, dalam, Paulo Freire, dkk, 1999 : 165).

Ciri yang dikemukan Vernon Smith ini juga dialami oleh pendidikan Islam di Indonesia sampai dekade ini. Misalnya : Sebagian Pesantren, Madrasah, dan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lain masih menganut sistem lama, kurikulum ditetapkan merupakan paket yang harus diselesaikan, kurikulum dibuat tanpa atau sedikit sekali memperhatikan konteks atau relevansi dengan kondisi sosial masyarakat bahkan sedikit sekali memperhatika dan mengantisipasi perubahan zaman, sistem pembelajaran berorientasi atau berpusat pada guru. Paradigma pendidikan tradisional bukan merupakan sesuatu yang salah atau kurang baik, tetapi model pendidikan yang berkembang dan sesuai dengan zamannya, yang tentu juga memiliki kelebihan dan kelemahan dalam memberdayakan manusia, apabila dipandang dari era modern ini.

Konsep pendidikan modern (konsep baru), yaitu ; pendidikan menyentuh setiap aspek kehidupan peserta didik, pendidikan merupakan proses belajar yang terus menerus, pendidikan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi dan pengalaman, baik di dalam maupun di luar situasi sekolah, pendidikan dipersyarati oleh kemampuan dan minat peserta didik, juga tepat tidaknya situasi belajar dan efektif tidaknya cara mengajar (Dimyati Machmud, 1979 : 3). Pendidikan pada masyarakat modern atau masyarakat yang tengah bergerak ke arah modern (modernizing), seperti masyarakat Indonesia, pada dasarnya berfungsi memberikan kaitan antara anak didik dengan lingkungan sosial kulturalnya yang terus berubah dengan cepat.

Shipman (1972 : 33-35) yang dikutip Azyumardi Azra bahwa, fungsi pokok pendidikan dalam masyarakat modern yang tengah membangun terdiri dari tiga bagian : (1) sosialisasi, (2) pembelajaran (schooling), dan (3) pendidikan (education). Pertama, sebagai lembaga sosialisasi, pendidikan adalah wahana bagi integrasi anak didik ke dalam nilai-nilai kelompok atau nasional yang dominan. Kedua, pembelajaran (schooling) mempersiapkan mereka untuk mencapai dan menduduki posisi sosial-ekonomi tertentu dan, karena itu, pembelajaran harus dapat membekalai peserta didik dengan kualifikasi-kualifikasi pekerjaan dan profesi yang akan membuat mereka mampu memainkan peran sosial-ekonomis dalam masyarakat. Ketiga, pendidikan merupakan "education" untuk menciptakan kelompok elit yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan besar bagi kelanjutan program pembangunan" (Azyumardi Azra, dalam Marwan Saridjo, 1996: 3)

D. Pendidikan Islami yang Bagaimana?

Perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat baik sosial maupun kultural, secara makro persoalan yang dihadapi pendidikan Islam adalah bagaimana pendidikan Islam mampu menghadirkan disain atau konstruksi wacana pendidikan Islam yang relevan dengan perubahan masyarakat. Kemudian disain wacana pendidikan Islam tersebut dapat dan mampu ditranspormasikan atau diproses secara sistematis dalam masyarakat. Persoalan pertama ini lebih bersifat filosofis, yang kedua lebih bersifat metodologis. Pendidikan Islam perlu menghadirkan suatu konstruksi wacana pada dataran filosofis, wacana metodologis, dan juga cara menyampaikan atau mengkomunikasikannya.
Dalam menghadapi peradaban modern, yang perlu diselesaikan adalah persoalan-persoalan umum internal pendidikan Islam yaitu (1) persoalan dikotomik, (2) tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam, (3) persoalan kurikulum atau materi. Ketiga persoalan ini saling interdependensi antara satu dengan lainnya.

Pertama, Persolan dikotomik pendidikan Islam, yang merupakan persoalan lama yang belum terselesaikan sampai sekarang. Pendidikan Islam harus menuju pada integritas antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama. Karena, dalam pandangan seorang Muslim, ilmu pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT (Suroyo, 1991 : 45). Mengenai persoalam dikotomi, tawaran Fazlur Rahman, salah satu pendekatannya adalah dengan menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana telah berkembang secara umumnya di dunia Barat dan mencoba untuk "mengislamkan"nya - yakni mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Lebih lanjut Fazlur Rahman, mengatakan persoalannya adalah bagaimana melakukan modernisasi pendidikan Islam, yakni membuatnya mampu untuk produktivitas intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama dengan keterkaiatan yang serius kepada Islam (Fazlur Rahman, 1982 : 155, 160). A.Syafi'i Ma'arif (1991 : 150), mengatakan bila konsep dualisme dikotomik berhasil ditumbangkan, maka dalam jangka panjang sistem pendidikan Islam juga akan berubah secara keseluruhan, mulai dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi. Untuk kasus Indonesia, IAIN misalnya akan lebur secara integratif dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi negeri lainnya. Peleburan bukan dalam bentuk satu atap saja, tetapi lebur berdasarkan rumusan filosofis.

Kedua, perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga-lembaga pendidikan Islam (Anwar Jasin, 1985 : 15) yang ada. Memang diakui bahwa penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan akhir-akhir ini cukup mengemberikan, artinya lembaga-lembaga pendidikan memenuhi keinginan untuk menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu umum dan ilmu agama serta keterampilan. Tetapi pada kenyataannya penyesuaian tersebut lebih merupakan peniruan dengan pola tambal sulam atau dengan kata lain mengadopsi model yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum, artinya ada perasaan harga diri bahwa apa yang bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum dapat juga dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan agama, sehingga akibatnya beban kurikulum yang terlalu banyak dan cukup berat dan terjadi tumpang tindih. Sebenarnya lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memilih satu di antara dua fungsi, apakah mendisain model pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain, atau mengkhususkan pada disain pendidikan keagamaan yang berkualitas, mampu bersaing, dan mampu mempersiapkan mujtahid-mujtahid yang berkualitas.

Ketiga, persoalan kurikulum atau materi Pendidikan Islam, meteri pendidikan Islam "terlalu dominasi masalah-maslah yang bersifat normatif, ritual dan eskatologis. Materi disampaikan dengan semangat ortodoksi kegamaan, suatu cara dimana peserta didik dipaksa tunduk pada suatu "meta narasi" yang ada, tanpa diberi peluang untuk melakukan telaah secara kritis. Pendidikan Islam tidak fungsional dalam kehidupan sehari-hari, kecuali hanya sedikit aktivitas verbal dan formal untuk menghabiskan materi atau kurikulum yang telah diprogramkan dengan batas waktu yang telah ditentukan (A.Malik Fajar, 1995 : 5).

Mencermati persoalan yang dikemukakan di atas, maka perlu menyelesaikan persoalan internal yang dihadapi pendidikan Islam secara mendasar dan tuntas. Sebab pendidikan sekarang ini juga dihadapkan pada persoalan-persoalan yang cukup kompleks, yakni bagaimana pendidikan mampu mempersiapkan manusia yang berkualitas, bermoral tinggi dalam menghadapi perubahan masyarakat yang begitu cepat, sehingga produk pendidikan Islam tidak hanya melayani dunia modern, tetapi mempunyai pasar baru atau mampu bersaing secara kompettif dan proaktif dalam dunia masyarakat modern. Pertanyaannya, disain pendidikan Islami yang bagaimana? yang
mampu menjawab tantangan perubahan ini, antara lain: Pertama, lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu mendisain ulang fungsi pendidikannya, dengan memilih apakah (1) model pendidikan yang mengkhususkan diri pada pendidikan keagamaan saja untuk mempersiapkan dan melahirkan ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid tangguh dalam bidangnya dan mampu menjawab persoalan-persoalan aktual atau kontemporer sesuai dengan perubahan zaman, (2) model pendidikan umum Islami, kurikulumnya integratif antara materi-materi pendidikan umum dan agama, untuk mempersiapkan intelektual Islam yang berfikir secara komprehensif, (3) model pendidikan sekuler modern dan mengisinya dengan konsep-konsep Islam, (4) atau menolak produk pendidikan barat, berarti harus mendisain model pendidikan yang betul-betul sesuai dengan konsep dasar Islam dan sesuai dengan lingkungan sosial-budaya Indonesia, (5) pendidikan agama tidak dilaksanakan di sekolah-sekolah tetapi dilaksanakan di luar sekolah, artinya pendidikan agama dilaksanakan di rumah atau lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat berupa kursur-kursus, dan sebagainya. Kedua disain "pendidikan harus diarahkan pada dua dimensi, yakni : (1) dimensi dialektika (horisontal), pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam atau lingkungan sosialnya. Manusia harus mampu mengatasi tantangan dan kendala dunia sekitarnya melalui pengembangan Iptek, dan (2) dimensi ketunduhan vertikal, pendidikan selain menjadi alat untuk memantapkan, memelihara sumber daya alami, juga menjembatani dalam memahamai fenomena dan misteri kehidupan yang abadi dengan maha pencipta. Berati pendidikan harus disertai dengan pendekatan hati (M.Irsyad Sudiro, 1995 : 2). Ketiga, sepuluh paradigma yang ditawarkan oleh Prof. Djohar, dapat digunakan untuk membangun paradiga baru pendidikan Islam, sebagai berikut : Satu, pendidikan adalah proses pembebasan. Dua, pendidikan sebagai proses pencerdasan. Tiga, pendidikan menjunjung tinggi hak-hak anak. Empat, pendidikan menghasilkan tindakan perdamaian. Lima, pendidikan adalah proses pemberdayaan potensi manusia. Enam, pendidikan menjadikan anak berwawasan integratif. Tujuh, pendidikan wahana membangun watak persatuan. Delapan, pendidikan menghasilkan manusia demokratik. Sembilan, pendidikan menghasilkan manusia yang peduli terhadap lingkungan. Sepuluh, sekolah bukan satu-satunya instrumen pendidikan (Djohar, 1999 : 12).

Tiga hal yang dikemukakan di atas merupakan tawaran desain pendidikan Islam yang perlu diupayakan untuk membangun paradigma pendidikan Islam dalam menghadapi perkembangan perubahan zaman modern dan memasuki era milenium ketiga. Karena, "kecenderungan perkembangan semacam dalam mengantisipasi perubahan zaman merupakan hal yang wajar-wajar saja. Sebab kondisi masyarakat sekarang ini lebih bersifat praktis-pragmatis dalam hal aspirasi dan harapan terhadap pendidikan" (S.R.Parker, 1990), sehingga tidak statis atau hanya berjalan di tempat dalam menatap persoalan-persoalan yang dihadapi pada era masyarakat modern dan post masyarakat modern. Untuk itu, Pendidikan dalam masyarakat modern, pada dasarnya berfungsi untuk memberikan kaitan antara anak didik dengan lingkungan sosiokulturalnya yang terus berubah dengan cepat, dan pada saat yang sama, pendidikan secara sadar juga digunakan sebagai instrumen untuk perubahan dalam sistem politik, ekonomi secara keseluruhan. Pendidikan sekarang ini seperti dikatakan oleh Ace Suryadi dan H.A.R. Tilar (1993), tidak lagi dipandang sebagai bentuk perubahan kebutuhan yang bersifat konsumtif dalam pengertian pemuasan secara langsung atas kebutuhan dan keinginan yang bersifat sementara. Tapi, merupakan suatu bentuk investasi sumber daya manusia (human investment) yang merupakan tujuan utama ; pertama, pendidikan dapat membantu meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan untuk bekerja lebih produktif sehingga dapat meningkatkan penghasilan kerja lulusan pendidikan di masa mendatang. Kedua, pendidikan diharapkan
memberikan pengaruh terhadap pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan (equality of education opportunity) (A.Malik Fadjar, 1995 : 1).

Selain itu dalam menghadapi era milenium ketiga ini nampaknya pendidikan Islam harus menyiapkan sumber daya manusia yang lebih handal yang memiliki kompotensi untuk hidup bersama dalam era global. Menurut Djamaluddin Ancok (1998 : 5), "salah satu pergeseran paradigma adalah paradigma di dalam melihat apakah kondisi kehidupan di masa depan relatif stabil dan bisa diramalkan (predictability). Pada milenium kedua orang selalu berpikir bahwa segala sesuatu bersifat stabil dan bisa diprediksi. Tetapi, pada milenium ketiga semakin sulit untuk melihat adanya stabilitas tersebut. Apa yang terjadi di depan semakin sulit untuk diprediksi karena perubahan menjadi tidak terpolakan dan tidak lagi bersifat linier". Maka, pendidikan Islam sekarang ini disainnya tidak lagi bersifat linier tetapi harus didisan bersifat lateral dalam menghadapi perubahan zaman yang begitu cepat dan tidak terpolakan. Untuk itu, lebih lanjut Djamaluddin Ancok yang mengutip Hartanto : 1997: Hartanto, Raka & Hendroyuwono, 1998, mengatakan bahwa pendidikan (termasuk pendidikan Islam) harus mempersiapkan ada empat kapital yang diperlukan untuk memasuki milenium ketiga, yakni kapital intelektual, kapital sosial, kapital lembut, dan kapital spritual. Tantangan ini tidak muda untuk penyelesaiannya, tidak seperti membalik telapak tangan. Untuk itu, pendidikan Islam sangat perlu mengadakan perubahan atau mendesain ulang konsep, kurikulum dan materi, fungsi dan tujuan lembaga-lembaga, proses, agar dapat meneuhi tuntatan perubahan yang semakin cepat.

E. Penutup

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa : (1) Dalam menghadapi perubahan masyarakat modern, secara internal pendidikan Islam harus menyelesaikan persoalan dikotomi, tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam, dan persolalan kurikulum atau materi yang sampai sekarang ini belum terselesaikan. (2) Lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu mendisain ulang fungsi pendidikan, dengan memilih model pendidikan yang relevan dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat. (3) Pendidikan Islam didisain untuk dapat membantu meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan untuk bekerja lebih produktif sehingga dapat meningkatan kerja lulusan pendidikan di masa datang. Selain itu perlu disain pendidikan Islam yang tidak hanya bersifat linier saja, tetapi harus bersifat lateral dalam menghadapi perubahan zaman yang begitu cepat. (4) Pendidikan Islam harus mengembangkan kualitas pendidikannya agar memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang selalu berubah-berubah. Lembaga-lembaga pendidikan Islami harus dapat menyiapkan sumber insani yang lebih handal dan memiliki kompotensi untuk hidup bersama dalam ikatan masyarakat modern.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdurrahman an-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalabih fi Baiti wa Madrasati wal Mujtama', Dar 
al-Fikr al-Mu'asyr, Beirut-Libanon., Terj. Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, Gema Insani Press, Jakarta, 1995.
Ahmad Syafi'i Ma'arif, Pemikiran tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Dalam Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991.
-------- Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate Studi Islam Melalui Paradigma Baru yang Lebih Efektif, Makalah Seminar, 1997.
A.Malik Fadjar, Menyiasati Kebutuhan Masyarakat Modern Terhadap Pendidikan Agama Luar Sekolah, Seminar dan Lokakarya Pengembangan Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21, IAIN, Cirebon, tanggal, 31 Agustus s/d 1 September 1995.
Anwar Jasin, Keranka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam : Tinjauan Filosofis, 1985.
Azyumardi Azra, dalam Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, Amissco, Jakarta, 1996.
Comference Book, London, 1978.
Djamaluddin Ancok, Membangun Kompotensi Manusia dalam Milenium Ke Tiga, Psikologika, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, Nomor : 6 Tahun III, UII, 1998.
Djohar, Omong Kosong, Tanpa Mengubah UU No. 2/89, Koran Harian "Kedaulatan Rakyat", Tangga, 4 Mei 199.
Erich Fromm, The Revolution of Hope : Toward a Humanized Technology, New York : Harper & Raw, 1968, p. 5.,dalam Syafi'i Ma'arif, Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate Studi Islam Melalui Paradigma Baru Yang Lebih Efektif, 1997.
Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition, The University of Chicago, Chicagi, 1982., terj. Ahsin Mohammad, Pustaka, 1985.
H.A.R. Tilar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang, Cet. I, 1998.
S.R. Parker, et.al, Sosiologi Industri, Rineka Cipta, Jakarta, 1990.
Soroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000, dalam Buku : Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogya, 1991.
Syed Sajjad Husaian dan Syed Ali Ashraf, Crisis Muslim Educatio"., Terj. Rahmani Astuti, Krisis Pendidikan Islam, Risalah, Bandung, 1986.
Roehan Achwan, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi, Jurnal Pendidikan Islam, Volume 1, IAIN Sunan Kalija, Yogyakarta, 1991.
M.Dimyati Machmud, Psikologi Pendidikan, Yogyakarta, BPFE, 1990.
M.Irsyad Sudiro, Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern, Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern, Cirebon, tanggal, 30-31 Agusrus 1995.
M.Rusli Karim, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia, dalam Buku : Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, editor, Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogyakarta, Cet.1, 1991.
Paulo Freire,dkk., Menggugat Pendidikan Fundamental Konservatif Liberal Anarkis, Terj., Omi Intan Naomi, Pustaka Pelajar, 1999.

Oleh : Hujair AH. Sanaky
17 mei 2005 jam 20:01:51

Senin, 31 Desember 2012

#SIMBOLISME SAINS DALAM WAHYU KESERASIAN ANTARA AYAT MAQRUfAH DENGAN AYAT MANZURAH

Jurnal Teknologi, 38(E) Jun. 2003: 27.48
©Universiti Teknologi Malaysia

SIMBOLISME SAINS DALAM WAHYU KESERASIAN ANTARA
AYAT MAQRUfAH DENGAN AYAT MANZURAH

RAMLI AWANG

Abstrak. Makro kosmos atau alam semesta merupakan Kitab Allah [wahyu Allah] yang bersifat
kawni. Dalam lain perkataan ia dikenali sebagai ayat-ayat al-kawniyah [ayatullah al-kawniyyah].
Mikro kosmos pula ialah ayat-ayat Allah yang bersifat qurfani [yang dibaca] dan ia merupakan
pasangan kepada makro kosmos. Ayat-ayat yang bersifat qurfani adalah sebagai panduan untuk
manusia meneroka ayat-ayat al-kawniyyah. Kedua-dua ayat ini sama sekali tiada pertentangan bahkan
saling membenarkan dan berkaitan. Ayat-ayat quran ditafsirkan oleh ayat quran yang lain, begitu juga
dengan ayat al-kawni, ia juga saling ditafsirkan oleh ayat kawni yang lain. Selain daripada itu ayat
kawni juga menjadi pentafsir kepada ayat qurfani. Tegasnya kedua-dua ayat Allah tersebut saling
mentafsirkan antara sesamanya. Kedua-duanya ada sifat simbolis yang unik lagi tersendiri; masingmasing
saling memperkukuhkan antara sesamanya dalam ruang dan peranan yang berbeza. Kertas ini
bertujuan mendedahkan keserasian ciptaan Allah yang terdapat pada ayat-ayat-Nya dalam rangka
memperlihatkan sifat keesaan dan keagungan-Nya supaya hamba-hamba-Nya benar-benar
mengabdikan diri kepada-Nya; serta meninjau khitab Quran yang ditujukan kepada mereka yang
berakal untuk memahami kaitan ayat manzurah dengan maqrufah secara simbolis.

1.0 PENDAHULUAN
Perkataan alam tersusun daripada rangkaikata [eayn, lam dan mim] . dibaca ealam
[dari istilah bahasa Arab]. Perkataan ini membawa banyak pengertian. Antaranya
seperti berikut:
(a) ealamun yang kata pluralnya aflamun: bendera.
(b) ealamun: sesuatu yang dicacak sebagai tanda.
(c) ealamun: dengan makna makrifat . iaitu pengenalan.2
1 Maksud dengan ayat-ayat maqrufah ialah ayat-ayat Quran yang ditanzilkan dan dibaca. Ia terdiridaripada seratus empat belas surah dengan ayat berjumlah 6236 kesemuanya, demikian menurutulama Kufah dari Imam Ali bin Abi Talib. Lihat dalam tulisan Ramli Awang gPerutusan Rasulullahs.a.w dan Ketulinan Akidahh dalam Al-Risalah, Majalah Jabatan Pendidikan Islam, FPPSM, UTM,Skudai, bil. 4 tahun 2, 1991/92, hlm. 3. Manakala ayat-ayat manzurah pula ialah ayat-ayat atautanda-tanda kewujudan Allah yang terdapat dalam alam yang dapat dilihat dan dicerap denganpancaindera.2 Al-Marbawi, Qamus al-Marbawi, 2 juzuk, Isa al-babi al-Halabi, Mesir, t.th, 2: 40.JT38E[3B].pmd 27 02/16/2007, 21:28

(d) Perkataan al-falamin [plural dari kekata alam] disebut oleh Quran sebanyak
73 kali. Sekali dengan lafaz ealamat iaitu pada surah al-Nahl 16: 16.
Perbincangan tentang alam sebagai ayatullah [tanda kewujudan Allah] yang dibaca
dan dilihat melibatkan perbincangan tentang alam kosmos. Ia merupakan cetusan
awal bagi lahirnya sains dalam Islam. Afzalur Rahman menulis:

Cosmology is the starting point of all sciences in Islam and it deals with the
creation of the wonderful world of God, Who is One, both transcendent and
immanent. gThere is no deity but one God, and Muhammad is the Messenger of
Godh. This doctrine is the central theme of all scientific knowledge, because,
gAll the cosmos was created by the One God and, in spite of its vastness and
hierarchies structure, reflects the Unity of Godh.3

Maksudnya:
Kosmologi adalah titik permulaan kepada seluruh sains dalam Islam dan ia
berhubungan dengan ciptaan dunia yang menakjubkan oleh Allah yang esa,
keduanya agung dan kekal,4 gTiada Tuhan yang disembah melainkan Allah,
dan Muhammad pesuruh Allahh. Keyakinan ini merupakan tema pusat kepada
seluruh ilmu sains, kerana, gSemua kosmos dicipta oleh Tuhan yang esa dan,
meskipun dalam keluasan serta kepelbagaian susun atur alam ini, ia kembali
kepada keesaan Tuhan].

Mehdi Golshani menjelaskan antara lain bahawa ternyata dalam perspektif Quran,
fenomena alam merupakan tanda-tanda [signs] kemahakuasaan Allah dan mana-mana
pemahaman tentang alam tabii adalah kiasan [analogous] dengan pemahaman tandatanda
yang membawa kita mencapai kesedaran tentang tanda-tanda wujudnya Tuhan.
Selanjutnya beliau menulis:

From the Qurfanic viewpoint, understanding nature is not fruitful undertaking
except when it helps us to understand the Wise Creator of this world and to
attain close proximity to Him. Understanding nature can promote manfs insight
towards the cognition of Allah and enables him to better utilize the gifts of
Allah for his own eternal felicity and well-beingh.5

3 Afzalur Rahman, Quranic Science, The Muslim Schools Trusts, London, 1981, hlm. 41. Lihat jugaShahibuddin Laming, Cosmology in the Quran, Nurin Enterprise, Kuala Lumpur, 1993, hlm. vii.4 Kekalnya alam tertakluk kepada Allah sedang kekalnya Allah tidak tertakluk kepada makhluk.5 Mehdi Golshani, The Holy Qurfan and the Sciences of Nature, Islamic Propagation Organization,Tehran, 1986, hlm. 81-82.
Maksudnya:
Menurut pandangan Quran, memahami alam tabii tidak menghasilkan apaapa
kecuali apabila ia membantu kita memahami kebijaksanaan Pencipta
alam ini dan membawa kita semakin hampir kepada-Nya. Memahami alam
tabii boleh membantu kesedaran manusia ke arah mengenal Allah dan
membolehkannya memanfaatkan lebih baik pemberian Allah untuk
kebahagiaan dan kelangsungan hidup yang baik.

2.0 MAKSUD ALAM
Makna alam dari segi bahasa ialah suatu ibarat terhadap apa yang diketahui dengannya
akan sesuatu. Menurut istilah pula ia adalah satu ibarat dari segala sesuatu selain
Allah . dari mawjudat kerana kesemua itu diketahui oleh Allah darihal nama-namanya
dan sifat-sifatnya.6 Dikatakan juga alam itu adalah jenis-jenis makhluk atau seluruh
makhluk. Kata al-Zujaj berhubungan dengan ayat gal-hamdulillah rabbil ealaminh .
perkataan alam dalam ayat ini ialah kullu ma khalaqallah . iaitu segala apa yang
diciptakan oleh Allah.7
Alam yang diciptakan Allah terlalu banyak dan tidak terkira oleh manusia, begitu
juga tahap-tahapnya. Hanya Allah sahaja yang mengetahui. Bagaimanapun terdapat
satu riwayat dari pada Wahab bin Munabbih yang mengatakan bahawa Allah
menciptakan 90,000 alam dan alam dunia ini adalah salah satu dari padanya.8 Bila
diertikan alam dengan makna tanda, atau pengenalan, maka ia juga bermakna sebagai
satu isyarat atau dengan lain perkataan ia bermakna simbol [pengenalan]. Ungkapan
ini bersamaan ertinya dengan wahyu.

3.0 PENGERTIAN WAHYU
Perkataan wahyu acap kali diulang sebut dalam Quran dalam berbagai konteks ayat:
. awha = 08 kali
. awhaitu = 01 kali
. awhaina = 24 kali
. nuhi = 04 kali
. nuhihi = 02 kali
. nuhiha = 01 kali
. layuhuna = 01 kali
6 Takrif ini diberi oleh Al-Allamah Ali bin Muhammad al-Sharif al-Jurjani, Kitab al-Tafrifat, MaktabahLubnan, Beirut, 1969, hlm. 149.7 Ibn Manzur, Lisan al-Arab, 6 jilid, tahkik Abd Allah Ali al-Kabir et al., Dar al-Mufarif, Mesir, t.th.,3: 3085.8 Ibid.
. yuhi = 04 kali
. fayuhiya = 01 kali
. uhiya = 11 kali
. yuha = 01 kali [huruf haf dipendekkan]
. yuha = 14 kali [huruf haf dipanjangkan]
. wahyun = 02 kali
. wahyina = 02 kali
. wahyuhu = 01 kali

Kesemuanya berjumlah 80 kali.
Menurut al-Raghib al-Asfahani [m. 503H], asal wahyu bermakna isyarat yang cepat
dan [sesuatu yang] mengandungi kecepatan.9 Wahyu mempunyai pengertian yang
banyak seperti al-isyarat, al-kitabah [tulisan], al-risalah [perutusan], al-ilham, al-kalam
al-khafiyy [percakapan atau bisikan tersembunyi], perintah atau suruhan [al-amr] dan
setiap yang anda ecampakkanf kepada selain anda.

(a) Wahyu dengan makna isyarat. Ini disebut dalam surah Maryam 19: 11.
gMaka ia pun [Nabi Al lah Zakariya] keluar kepada kaumnya dari Mihrab
[tempat sembahyangnya]; lalu memberi wahyu kepada mereka [kaumnya] .
ghendaklah kamu bertasbih pagi dan petangh.
Dalam ayat ini diungkapkan istilah gfa awha ilayhimh [maka ia memberi wahyu
kepada mereka]. Maksudnya Nabi Allah Zakariya memberi isyarat kepada
kaumnya.

(b) Wahyu dengan makna kitabah [tulisan] seperti ungkapan penyair
bernama Labid seperti berikut:

famadafifu al-rayyani eura rasmuha, khalaqan kama duminal wuhiyya
silamuhah.

Maksudnya ialah apa yang ditulis di atas batu-batan dan dibincangkan.10

(c) Wahyu dengan pengertian risalah [perutusan]. Quran surah al-Kahfi
18: 27 menyebut:

Dan bacalah apa yang diwahyukan kepada kamu dari Kitab Tuhanmuh.
9 Al-Raghib al-Asfahani, Mufjam mufradat alfaz al-Qurfan, tahkik Ibrahim Shamsuddin, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1997, hlm. 586.10 Ibn Manzur, Lisan al-Arab, 6: 4787.
Ungkapan gutlu ma uhiya ilayka min kitabi rabbikah itu ialah yang diutuskan
Tuhan atau perutusan Allah kepada Nabi Muhammad s.a.w; iaitu Quran.

(d) Wahyu dengan makna ilham. Ini dinyatakan dalam surah al-Nahl 16:
68.

Dan Tuhanmu telah memberi wahyu kepada lebah..h. Maksud perkataan
wahyu di sini ialah ilham. Berhubung dengan perkara ini Yusuf Ali
menjelaskan seperti berikut: gAwha: wahyun ordinarily means inspiration, the
Message put into the mind or heart by God. Here the Beefs instinct referred to
Godfs teaching, which it undoubtedly ish.11

(e) Wahyu dengan makna perintah [suruhan]. Ini disebut dalam surah
al-Zalzalah 99: 5:

Pada hari itu bumi pun memberitahu khabar beritanya, bahawa Tuhanmu
telah mewahyukannyah.

Maksud perkataan awhalaha di sini ialah Tuhan telah memerintahkan bumi
agar berbuat demikian.

(f) Bisikan tersembunyi. Makna ini dinyatakan dalam surah al-Anfam 6: 121:

Dan syaitan-syaitan itu mewahyukan kepada para pengikutnya, supaya
mereka membantah kamuch

Perkataan elayuhunaf di sini bermakna membisikkan, iaitu bisikan para syaitan
kepada manusia bagi menentang perintah bawaan Nabi s.a.w.

(g) Mencampakkan esesuatuf [ilham] ke dalam hati. Ini dinyatakan dalam
surah al-Qasas 28: 7:

Dan Kami wahyukan kepada Ibu [Nabi] Musach

Perkataan eawhainaf [Kami wahyukan] di sini bermakna mencampakkan [ilham]
ke dalam hati ibu Nabi Allah Musa a.s.
11 A. Yusuf Ali, The Holy Qurfan Text, Translation and Commentary, Amana Corp, Maryland, 1983,hlm. 674, catatan kaki no. 2097.

3.1 Wahyu Umum dan Wahyu Khusus
Perkataan wahyu mempunyai erti umum dan khusus. Pengertiannya yang bersifat
umum dipakai untuk beberapa macam aktiviti pemberitahuan yang tersembunyi lagi
khusus. Antara bentuk-bentuk wahyu ini ialah al-rukya al-sadiqah [mimpi yang benar],
bisikan dalam hati, ilham dan percakapan yang disampaikan oleh Malaikat. Selain
daripada ertinya yang umum wahyu juga mempunyai erti yang khusus, iaitu
epercakapanf Allah dengan salah satu bentuk yang tiga macam seperti dalam firman-
Nya:

Dan tidak layak bagi seseorang manusia bahawa Allah berkata-kata
dengannya kecuali dengan jalan wahyu [dengan diberi ilham atau mimpi
yang benar], atau dari sebalik dinding [tabir . dengan mendengar suara
sahaja] atau dengan mengutuskan utusan [Malaikat] lalu utusan itu
menyampaikan wahyu kepadanya dengan izin Allah akan apa yang
dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Bijaksanah.
[al-Syura 42: 51]

Selain daripada tiga bentuk wahyu yang dinyatakan dalam ayat di atas, wahyuwahyu
dalam pengertian yang lain tidak dianggap sebagai kalamullah al-tashrif .
iaitu firman-firman Allah yang bersifat hukum perundangan. Adapun bentuk mimpi
yang benar dan ilham, hal ini termasuk bentuk wahyu yang pernah terjadi dan akan
tetap terjadi bagi selain para Nabi.12 Bagaimanapun ia tidak menjadi syariat kerana
syariat telahpun sempurna dengan berakhirnya perutusan Nabi Muhammad s.a.w.
Daripada keterangan tersebut dapat diperkembangkan pengertian wahyu itu sebagai
esuatu kaedah penyaluran maklumatf dari yang mewahyukan kepada yang diwahyukan.
Allah adalah yang mewahyukan dan Nabi adalah yang menerima wahyu. Sementara
wahyu itu sendiri berbentuk isyarat, ilham, bisikan ghaib dan boleh juga berbentuk
percakapan secara tersembunyi. Kekata wahyu juga dengan makna tulisan yang dibaca
seperti Kitab-kitab Samawi dinamakan sebagai wahyu yang bertulis.
Bentuk wahyu itu juga kalau diperhatikan, ternyata ia berupa simbol. Tulisan, bahasa
isyarat, papan tanda adalah simbol-simbol tanpa suara yang berfungsi untuk
memberikan kefahaman kepada seseorang. Justeru isyarat dan apa jua maklumat
yang datang daripada Allah untuk sampainya maklumat itu kepada sasarannya
merupakan bentuk-bentuk wahyu membuktikan kewujudan Allah sebagai pemberi
wahyu. Tuhan yang etranscendentf tentunya tidak menyerupai apa jua jenis makhluk,
oleh itu wasilah bukti wujud Allah itu diketahui menerusi wahyu. Suara yang didengar,
Malaikat yang berupa manusia dan yang membacakan wahyu kepada Nabi dengan
12 Muhammad Rasyid Rida, Wahyu Ilahi kepada Muhammad, Terjemahan J. Saifudaulah al-Firdausy,Pustaka Nasional, Singapura, 1983, hlm. 55
bahasa tertentu, atau ilham yang disampaikan kepada Nabi merupakan simbol-simbol
wahyu dari Tuhan. Simbol-simbol itu sendiri bukan wahyu.
4.0 SIMBOLISME
Kekata simbol berasal daripada kata Yunani esymbolonf yang bermakna etanda
pengenalf, elencanaf atau esemboyanf. eSymbolonf di Yunani dipakai sebagai bukti
identiti. Untuk mengikat persahabatan, sebuah batu atau mata wang dibelah, sehingga
pemegang setiap bahagian tersebut memiliki bukti konkrit dari persahabatan mereka.
eSymbolonf menghubungkan dua orang, merupakan tanda nyata dari sesuatu yang
tidak kelihatan: perkahwinan, persahabatan, perjanjian atau percaya mempercayai.
Kata Jerman echifferf berasal dari kata Arab esifrf yang merupakan terjemahan dari
kata Sanskrit esunyaf13 yang bermakna ekosongf atau ekekosonganf. Kata esifrf masuk
ke dunia Eropah bersama algebra Arab dan telah mendapat erti eangkaf, ekodf dan
etanda rahsiaf. eChiffer-chifferf itu adalah tanda-tanda rahsia yang ditulis oleh keTuhanan
dan yang mula-mula masih tanpa erti. Pengertian echiffer-chifferf itu harus dicari oleh
manusia sendiri.14
Salah seorang filosofer Eksistensialisme abad ke-20, Karl Jaspers [1883-1969] yang
bermazhab Protestant yang percayakan wujud Tuhan15 antara lain menyebut bahawa
simbol itu sebagai kod dan tanda rahsia. Menurutnya segala sesuatu berbicara tentang
Allah dan interpretasi dari dunia sebagai satu teks tidak hanya terdapat dalam satu
buku suci atau hanya dalam satu agama.16

5.0 WAHYU SEBAGAI SIMBOL
Sebagaimana yang telah dijelaskan istilah wahyu antara lain bermakna simbol atau
isyarat yang datang daripada Tuhan untuk hamba-Nya dan makhluk-Nya. Di sana
ada dua bentuk wahyu:
(a) Wahyu dalam sifatnya dan pengertiannya sebagai Kitab yang tertulis seperti
Kitab Suci Quran dan Kitab-kitab Samawi yang lain.
(b) Wahyu bersifat alam nyata. Ia merupakan Kitab Allah yang terbuka untuk
dikaji dan dianalisis.
13 Dalam bahasa Melayu, istilah ini berubah menjadi esunyif iaitu tiada apa-apa yang didengar ataukosong dari apa-apa.14 M. Sastrapratedja [editor], Manusia Multi Dimensional Sebuah Renungan Filsafat, Penerbit PTGramedia, Jakarta, 1983, hlm. 55.15 Wallace I Matson, A New History of Philosophy, 2 vol. Harcourt Brace Jovanovich, Inc, San Diego,1987, 2: 465.16 M. Sastrapratedja, Manusia Multi Dimensional, hlm. 55.

Sayed Hossein Nasr menyebut:

Akhirnya alam tabii juga boleh dikaji sebagai sebuah ekitabf simbol-simbol
atau sebagai ikon yang direnungi ke dalamnya pada satu-satu peringkat
perjalanan rohani atau sebagai sebuah gua dari mana seorang arif harus
membebaskan dirinya bagi mencapai kebebasan dan pencahayaan yang abadi,
seperti yang ditunjukkan dalam penulisan-penulisan golongan Isyraqi dan
Sufi seperti Suhrawardi dan Ibn Arabi. Lebih dari pada itu, kesemua cara dan
matlamat yang berlainan dalam kajian Alam Tabii itu kadang-kadang
dilapiskan antara satu sama lain dalam karya seseorang penulis terutamanya
dalam tamadun Islam. Simbol yang digunakan bagi menafsir dan memahami
alam tabii bergantung rapat kepada bentuk Wahyu atau Idea Utama yang
kukuh dalam suatu tamadun. Ahli masyarakat tamadun tertentu akan memilih
satu set simbol tertentu untuk dikuduskan dan dibezakan dengan simbol lain
yang terdapat dalam tabii kejadian umumnyah.17

Frithjof Schoun dalam Gnosis Divine Wisdom menyebut antara lain bahawa sains
simbol bukan hanya pengetahuan mengenai simbol yang bertolak daripada
kepentingan nilai [quality] terhadap jawhar, bentuk, arah, nombor, fenomena tabii,
ikatan, gerak, warna dan lain-lain sifat atau kedudukan sesuatu benda; kita bukannya
memperkatakan tentang penghayatan subjektif kerana nilai kosmik dimartabatkan
berdasarkan perhubungannya dengan Wujud [Allah] dan juga menurut satu hierarki
adalah bebas daripada cita rasa kita malah ia, menentukan di mana kita juga hidup
dalam wujud; kita akur dengan nilai kerana kita sendiri bersifat kualitatif.18
Dalam ajaran Islam wahyu mengambil bentuk sebuah Kitab Suci, simbol huruf
mempunyai kepentingan yang khusus. Quran pula sering menyebut alam semesta
sebagai sebuah kitab yang bersifat emakro kosmosf dan pasangan kepada Quran
sendiri yang diibaratkan emikro kosmosf.
Kenyataan bahawa wahyu sebagai suatu simbol dapat kita perhatikan dari riwayat
al-Bukhari dalam Sahihnya bab kayfa badafa al-wahy ila Rasulullah sallallahu alayhi
wasallam19 [bab bagaimana permulaan wahyu diturunkan kepada Rasulullah s.a.w]:
(a) Kadang-kadang wahyu itu datang kepadaku [Nabi s.a.w] kedengaran seperti
bunyi loceng. Itulah yang sangat berat bagiku. Setelah bunyi itu berhenti,
lantas aku mengerti apa yang dikatakan.
17 Sayed Hossein Nasr, Pengenalan Doktrin Kosmologi Islam, terjemahan Baharuddin Ahmad, DewanBahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1992, hlm. Xxvii.18 Ibid., hlm. xxviii . catatan kaki.19 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari bi Hasyiah al-Sindi, 4 juzuk, Dar al-Fikr, Beirut, t.th., 1: 5-6.
(b) Kadang-kadang Malaikat menjelma seperti seorang lelaki datang
kepadaku [Nabi s.a.w]. Dia berbicara kepadaku dan aku mengerti apa yang
dikatakan.
(c) Dari Aisyah katanya: Wahyu yang pertama turun kepada Rasulullah s.a.w
ialah berupa mimpi yang benar [al-rufya al-sahihah], waktu baginda tidur,
biasanya mimpi itu terlihat jelas oleh baginda seperti cahaya pagi [waktu
subuh].
Nyatalah bahawa bunyi loceng itu sebenarnya simbol. Bunyi itu sendiri bukanlah
wahyu. Begitu juga Malaikat berupa seorang lelaki yang berbicara kepada baginda
adalah simbol. Pembicaraan itu sendiri bukanlah wahyu melainkan ia adalah bahasa
semata-mata, sementara mimpi yang dilihat Nabi s.a.w seperti cahaya sinar waktu
subuh bukanlah wahyu, bahkan sebagai simbol wahyu yang disampaikan Tuhan
dan Rasulullah s.a.w mengerti sesudah diberikan simbol-simbol wahyu itu.
Tegasnya di sini sifat dan cara datangnya wahyu berupa simbol pernyataan Tuhan
dan Tuhan itu sendiri tidak kelihatan serta tidak bersimbol [laysa kamithlihi syafun .
tidak ada yang menyerupai-Nya sesuatu juapun]. Antara simbol dan yang disimbolkan
serta maksud dari simbol itu masing-masing berbeza. Apa yang penting dari simbol
itu ialah esampainya pengertianf. Justeru pengertian itu merupakan rahsia yang ada di
sebalik simbol dan rahsia itu adalah tafsiran yang benar dari simbol-simbol itu dan
haruslah dicari. Simbol sifatnya memberi petunjuk kepada yang etranscendf atau lebih
tinggi. Simbol-simbol keTuhanan terdapat dalam alam yang diciptakan-Nya. Semua
itu bila diselidiki akan membawa kepada hadirnya Ilahi dalam kesedaran para
pengkajinya.

6.0 TUJUAN PENCIPTAAN ALAM
Berdasarkan keterangan Quran, kita mendapat kepastian bahawa kejadian alam ini
mempunyai tujuan dan matlamat. Dengan maksud lain kejadian alam dan
penciptaannya ini tidaklah sia-sia. Quran menegaskan:

Sesungguhnya pada kejadian langit dan bumi, dan pada pertukaran malam
dan siang, ada tanda-tanda [kekuasaan, kebijaksanaan dan keluasan rahmat
Allah] bagi orang-orang yang berakal. Iaitu orang-orang yang menyebut dan
mengingati Al lah semasa mereka berdiri dan duduk dan semasa mereka
berbaring mengiring, dan mereka pula memikirkan tentang kejadian langit
dan bumi [sambil berkata]: gWahai Tuhan kami! Tidaklah Engkau
menjadikan benda-benda ini sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah
kami dari azab nerakah. [Ali Imran 3: 191]

Dalam ayat lain diperincikan lagi bahawa kejadian-kejadian yang ada di antara
langit dan bumi juga adalah benar, bukan batil. Quran menjelaskan:

Dan tidaklah Kami menci ptakan langit dan bumi serta segala yang ada di
antara keduanya [sebagai] batil [tidak mengandungi hikmah dan keadilan];
yang demikian adalah sangkaan orang-orang yang kafir. Maka kecelakaanlah
bagi orang-orang yang kafir itu dari azab nerakah. [Sad 38:27]

7.0 SIMBOLISME ALAM
Seperti mana yang dijelaskan bahawa alam ini antara lain bersifat wahyu Allah yang
dapat dilihat atau tanda-tanda kekuasaan Allah yang dapat dilihat [ayat manzurah].
Kalau ayat-ayat Allah yang dapat dibaca [ayat maqrufah] merupakan wahyu Allah
yang berupa kitab bacaan, maka alam semesta juga merupakan wahyu Allah yang
dapat disaksikan. Sifat wahyu Allah yang dapat disaksikan ini antara lain menyamai
aspek-aspek esimbolf ayat-ayat Allah yang dibaca, kerana wahyu yang datang kepada
Nabi s.a.w itu berbentuk simbolik kerana hakikat bunyi loceng, mimpi yang benar
dan kedatangan Malaikat berupa manusia yang berbicara kepada baginda bukanlah
wahyu. Alam berupa kitab Allah yang terbuka juga bersifat wahyu dan mempunyai
simbol tersendiri. Ia perlu dikaji dan dicari hakikatnya oleh manusia bagi mendapatkan
rahsia serta kunci kebenaran yang Maha Benar.
Dalam wahyu atau Kitab Allah yang terbuka ini banyak diperkatakan nama-nama
alam serta fenomenanya. Semua ini bersifat petunjuk, tanda simbol-simbol yang
bernilai saintifik kepada mereka yang mahu berfikir, berilmu, beriman dan
menggunakan akal dalam menyelidikinya. Antara lain Allah menyebut nama-nama
berikut: al-samaf [langit], al-matar [hujan], al-najm [bintang], al-qamar [bulan], alkawakib
[nama jenis bintang], al-sahab [awan], al-nahr [siang], al-layl [malam], alzarfu
[tanaman], al-syams [matahari], al-nabat [tumbuhan], al-jabal [bukit], al-hadid
[besi], al-anfam [binatang ternak], al-barr [daratan], al-bahr [lautan], al-fuyun [mata
air], al-masabih [lampu] dan al-nur [cahaya].
Di samping nama-nama yang disebutkan itu ada banyak lagi nama-nama alam
yang tidak disebutkan di sini. Tegasnya Allah menyebut segala makhluk-Nya yang
ada di alam ini adalah sebagai tanda atau bukti [burhan] atau hujah perihal kebesaran
dan keagungan ciptaan-Nya. Berdasarkan kalimat eayatf [tanda] dengan berbagai
perubahannya, yang diulang sebut sebanyak 382 kali20 membuktikan betapa besarnya
perhatian Quran terhadap fenomena alam bagi dibuat kajian oleh manusia khususnya
yang beriman. Jumlah tersebut seperti berikut: kalimat ayatihi [plural . ayat-ayat-Nya]
= 37 kali; ayati [plural . ayat-ayat-Ku] = 14 kali; ayatiha [plural . ayat-ayat-Nya] = 1 kali;
ayatina [plural . ayat-ayat Kami] = 92 kali; ayatika [plural . ayat-ayat Engkau] = 3 kali,
ayat [plural . tanda] = 148 kali, ayatayn [dua tanda] = 1 kali; ayatuka [plural . ayat-ayat
Engkau] = 2 kali; ayat [singular . ayat atau tanda] = 84 kali.
20 Lihat Muhammad Fufad Abd al-Baqi, al-Mufjam al-Mufahras li Alfaz al-Qurfan, Dar al-Fikr,Beirut, 1986, hlm. 103-108.
Keseluruhan ungkapan tersebut merujuk kepada tanda-tanda atau bukti yang
dipaparkan Tuhan. Jelaslah bahawa ia merujuk kepada simbol-simbol dalam yang di
sebaliknya ada rahsia bersifat sains untuk diterokai. Kenyataan ini lebih meyakinkan
kita bilamana kalimat ayat itu sering dihubungkan dengan penggunaan akal fikiran
atau meminta kesedaran daripada manusia yang tentunya berpunca kepada
penggunaan akal fikiran.
Adalah diterima umum kepada mereka yang mahu berfikir bahawa Allah tidak
mengungkapkan wahyu-Nya sama ada bersifat ebacaanf atau epenglihatanf [dalam
bentuk alam nyata] secara sia-sia kerana ini bertentangan dengan sifat keagungan-
Nya. Oleh itu sudah pasti setiap yang diungkapkan-Nya mengandungi makna yang
tersendiri. Allah tidak mengungkapkan kalimat lebah, semut, air dari langit, bintangbintang
sebagai lampu perhiasan, bukit sebagai pasak yang mengimbangi kestabilan
alam, air masin dan air tawar serta sebagainya atas sifatnya yang esuperficialf sematamata
kepada benda itu sahaja. Ini disebabkan kalau demikian ungkapannya,
memangnya manusia sedia mengetahui dan mengenali benda-benda tersebut. Kalaulah
sekadar membentangkan nama-nama itu untuk dikenali sudah tentu nilai wahyu itu
kurang bersifat mukjizat. Justeru itu tentunya lafaz-lafaz esimbolisf ini ada tanda, isyarat
dan petunjuk di sebaliknya. Jadi apa jua simbol yang dikemukakan Allah tidak lain
kecuali memperlihatkan ketauhidan-Nya dan bertolak daripada asas tauhid inilah
sahaja alam ini dapat difahami dan dikaji dengan benar.

8.0 KESERASIAN ALAM MANUSIA DAN ALAM LANGIT
Manusia merupakan kosmos kecil21 dan sudah tentu mempunyai hubungan erat
dengan kosmos yang lebih besar. Pengkajian terhadap kosmos ini membawa manusia
kembali kepada titik mula tentang keesaan ilmu Allah dan seluruh alam ini berada di
bawah perintah-Nya.22 Kejadian segala makhluk tidak lain adalah untuk tunduk dan
patuh kepada titah perintah-Nya dan mengabdikan diri kepada-Nya. Justeru makhluk
itu berbagai-bagai maka bentuk-bentuk ubudiyah yang dilakukan oleh setiap makhluk
itu pula berbeza. Perbezaan ini adalah lantaran sunnatullah yang berbeza antara
setiap makhluk dengan makhluk yang lain. Walau bagaimanapun, masing-masing
memberikan satu manifestasi pengabdian jua.
Kebanyakan cakerawala yang ada di jagat raya ini bergerak dalam ertikata berpusing
pada paksinya yang tertentu. Bumi dengan paksinya, komet-komet, matahari dan
cakerawala-cakerawala yang lain masing-masing berligar pada paksinya. Inilah tabii
pusingan alam tinggi selaku kejadian Allah. Sifat pusingan ini pula berlaku kepada
21 Lihat selanjutnya dalam Murtada Muttahari, al-Mafhum al-Tawhidi lil Alam, Mufasasah al-Bifthah,Tehran, t.th., hlm. 72-73.22 Lihat Shahibuddin Laming, Cosmology in the Qurfan, Nurin Enrerprise, Kuala Lumpur, 1993, hlm.vii.
alam lebih kecil iaitu manusia yang mengelilingi Kaabah. Pusingan alam langit dan
manusia masing-masing mengambil arah emengirif atau lawan jam. Tentunya
ketetapan ini bukan terjadi secara tidak sengaja atau secara kebetulan malahan adalah
ketentuan dari yang Maha Mengetahui.23 Sebenarnya ketentuan ini tidak khusus
kepada manusia ketika mengerjakan ibadat haji sahaja, malahan ketika permulaan
kejadiannya pun manusia mengalami pusingan etawaff yang serupa. Dr. Muhammad
Ali Akbar mencatatkan:
di dalam servik terdapat suatu alat saringan di mana sperma-sperma yang
cacat dicegah dari pada berenang. Hanya sperma-sperma sihat sahaja yang
dibenarkan berenang dalam arus dan terusan yang dibentuk oleh rembesanrembesan
serviks. Sperma-sperma berenangan secara berkumpulan di dalam
setiap terusan, melepasi uterus dan seterusnya ke dalam tiub-tiub fallopio. Di
dalam tiub fallopio, sperma-sperma tadi dikapasitasikan. Hanya beberapa
ratus sahaja yang sampai ke penghujung tiub fallopio. Sel-sel tubuh yang terkecil
[sperma] bertemu dengan sel tubuh yang terbesar [ovum]. Ovum mula berpusing
secara perlahan-perlahan seperti planet di angkasa lepas mengikut pusingan
songsang jam, sepertimana elektron-elektron di sekeliling nekleus atom atau
bumi mengelilingi Mataharih.24

Jelas bahawa universe yang sebegini besar tetap mempunyai hubungan dengan
alam yang kecil dan dapat ditegaskan di sini bahawa dalam apa jua keadaan pun
Islam mengajarkan agar manusia mesti sentiasa bersahabat dengan alam lain ciptaan
Allah. Mereka tidak boleh bermusuh, kerana kejadiannya saling menyempurnakan
dalam rangka sebuah hikmah kehidupan dan keharmonian yang lebih luas.

9.0 AYAT-AYAT KOSMOS DALAM DIRI MANUSIA
Allah mewahyukan di dalam Quran kepada Nabi s.a.w:

Dan pada bumi ada tanda-tanda [ayat-ayat yang membuktikan kekuasaan
Al lah], bagi [orang yang mahu mencapai pengetahuan] yang yakin. Dan
dalam diri kamu sendiri apakah kamu tidak mahu melihat serta memikirkan
[dalil-dalil dan bukti itu]h. [al-Dhariyat 51: 21]

Kami akan perlihatkan kepada mereka tanda-tanda [ayat-ayat] kekuasaan
Kami di merata tempat [dalam alam yang terbentang luas ini] dan dalam
23 Zakaria Awang Soh, Kejadian dan Keadaan Alam Semesta, Berita Publishing Sdn. Bhd. KualaLumpur, 1990, hlm. 79.24 Muhammad Ali Akbar, Perkembangan Manusia Menurut Al-Qurfan dan Hadith, terjemahan Dr.Rusli Hj. Nordin, Cresent News Sdn. Bhd., Kuala Lumpur, 1992, hlm. 60.
diri mereka sendiri, sehingga ternyata jelas nyata kepada mereka kebenaran.
Belumkah ternyata kepada mereka kebenaran itu dan belum cukupkah [bagi
mereka] bahawa Tuhanmu mengetahui dan menyaksikan tiap-tiap sesuatu?h
[Fussilat 41: 53]

Kalau kita rujuk kepada Sirah al-Rasul s.a.w selaku insan kamil dan penghubung
alam langit dengan makhluk di bumi, terdapat beberapa tarikh penting yang perlu
dicatat berhubung dengan perkara ini. Keenam-enam ini adalah peristiwa yang berlaku
di bumi dan berlangsung dalam kehidupan Rasul mulia itu. Kita meyakini bahawa
semua itu tidak berlaku secara kebetulan, malahan perencanaan Tuhan kepadanya
kerana sepanjang kehidupan Nabi s.a.w., baginda sentiasa dibimbing menerusi wahyu
dari langit. Perhatikan jadual di bawah:-25


Jadual 1 Peristiwa penting kehidupan Rasulullah (s.a.w)
Bil     eristiwa                            Tarikh
1       Nabi dilahirkan                            12 Rabiuawal26
2       Nabi Idulfitri                                 01 Syawal
3       Nabi Haji Akbar                          09 Zulhijjah
4       Nabi Idul Adha                            10 Zulhijjah
5       Nabi menerima wahyu pertama     17 Ramadan
6       Nabi Mikraj ke langit                    27 Rejab
         Jumlah 76


Enam hari tersebut penting dalam kehidupan Rasulullah s.a.w. Jumlah 76 bila
dirujuk kepada kedudukan surah al-Insan [Manusia] ia menduduki bilangan ke-76
daripada susunan surah-surah dalam Quran yang berjumlah 114 surah kesemuanya.
Bukanlah perkara kebetulan kerana penentuan surah-surah dalam Quran telah
disepakati ulama yang ia adalah secara tawqifi yakni menurut ketentuan. Ertinya
susunannya seperti mana yang kita lihat sekarang ini dalam catatan mushaf adalah
selaras dengan perintah dan wahyu dari Allah. Malaikat Jibril a.s apabila membawa
satu atau beberapa ayat kepada Nabi s.a.w mengatakan: gWahai Muhammad!
Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu untuk menempatkannya pada urutan

25 Selanjutnya sila baca Fahmi Basya Hamdi, Al-Quran Alam Semesta dan Matematika 2, PustakaAntara PT, Jakarta, 1990, hlm. 16.26 Syed Ameer Ali, Sejarah Evolusi dan Keunggulan Islam, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992, hlm. 67.Tahun kelahiran Nabi s.a.w dikenali sebagai Tahun Gajah. Lihat Ibn Ishaq, Kitab al-Siyar wa al-Maghazi, tahkik Dr. Suhail Sukkkar, Mufasasah Ismailiyan, Qom, 1978, hlm. 48.
surah sekian.” Lalu Nabi s.a.w kemudiannya memerintah kepada penulis wahyu:
Letakkanlah pada urutan surah sekian selepas ayat sekian.h27
Berdasarkan simbolisme, berkemungkinan kita boleh merumuskan bahawa angka
76 itu adalah ekod manusiaf, kerana menurut ilmu anatomi ruas jari-jemari tangan
manusia dari pergelangan mempunyai 19 ruas, sementara ruas kaki dari buku lali
hingga ke hujung jari jemari kaki juga terhitung sebanyak 19 ruas. Apabila dicampurkan
2 kaki dengan 2 tangan jumlahnya menjadi 76. Kelihatan bahawa ayat-ayat kosmos
yang ada pada sebahagian diri manusia berkait rapat dengan ketetapan surah al-Insan
dalam Quran yang diletakkan pada bilangan ke 76. Tentunya kita mengatakan bahawa
antara alam langit yang menurunkan wahyu dan sifat wahyu itu sendiri [Quran]
mempunyai kaitan langsung dengan makhluk yang dipertanggungjawabkan
melaksanakan wahyu itu. Ertinya setiap sendi tulang milik manusia itu dipertanggungjawabkan
dengan wahyu Allah, justeru saling keterikatan itulah maka manusia tidak
harus berpaling daripada wahyu dalam apa jua kegiatan hidupnya.

Selain itu, Quran menjelaskan kepada kita ada tujuh ayat berasingan yang menyebut
tujuh langit yang diciptakan Allah.

(1) Surah al-Isra 17: 44. Maksudnya: gBertasbihlah kepada-Nya langit yang tujuh
serta bumi dan apa yang ada di antara keduanyah.
(2) Surah Fussilat 41: 12. Maksudnya: gMaka dijadikan Allah tujuh langit dalam
dua harih.
(3) Surah al-Talaq 65: 12. Maksudnya: gAllah mencipta tujuh langit dan bumi seperti
itu jugah.
(4) Surah al-Mulk 67: 3. Maksudnya: g[Allah] yang menciptakan tujuh langit secara
berlapis-lapis [tibaqa]h.
(5) Surah Nuh 71: 15. Maksudnya: gTidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah
telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis?h.
(6) Surah al-Mukminun 23: 86. Maksudnya: Tanyakan: gSiapakah Tuhan yang
memiliki dan mentadbirkan langit yang tujuh dan Tuhan yang mempunyai Arasy
yang besar?h.
(7) Surah al-Baqarah 2: 29. Maksudnya: gDialah [Allah] yang menjadikan untuk
kamu segala yang ada di bumi, kemudian Dia menuju dengan kehendak-Nya
ke arah [bahan-bahan] langit, lalu dijadikannya tujuh langit dengan sempurna.h.
Simbolis dari wahyu itu dapat dirumuskan seperti berikut: bahawa jarak bumi ke
langit yang ketujuh adalah tujuh sebagaimana di bawah:
27 Perihal ketetapan dan kedudukan surah-surah dalam Quran ini sila baca Muhammad Ali al-Sabuni, al-tibyan di ulum al-Qurfan, Dar al-Qalam, Beirut, 1970, hlm. 59.
(gambar)

Secara konsepsinya, simbol tersebut cuba mengisyaratkan ada lingkungan yang
jejarinya adalah tujuh dari bumi. Berdasarkan ilmu matematik keliling lingkaran itu
dapat diketahui dengan rumus berikut:

. keliling lingkaran = 2 ƒ® R = 2 ~ 22/7 ~ R, [R = jejari].
. Jadi keliling lingkaran itu adalah 2 ~ 22/7 ~ 7 = 44.28
Dalam Sirah Rasul pula kita temui dua tarikh penting yang langsung berhubungan
dengan langit, iaitu:

(1) Nabi s.a.w menerima wahyu pada Ramadan   17
(2) Nabi s.a.w dimikrajkan pada Rejab                27
                                                                         Jumlah 44

Kalau demikian kenyataan ini membawa simbolis tertentu, iaitu keliling lingkaran
2 P R dan kod langit 44. Bukanlah secara kebetulan bila kita perhatikan dalam Quran
bilangan Surah ke 44 adalah Surah al-Dukhan [asap atau langit]. Allah menyebut
bahawa langit itu pada waktu mula dipisahkan berupa dukhan [asap]. Jadi bahan asas
langit itu sudah jelas kepada kita sebagai pernyataan bersifat simbolis. Firman-Nya:

Kemudian Dia [Allah] menuju kehendak-Nya ke arah [bahan-bahan] langit
sedang langit itu masih berupa asap; lalu Dia berfirman kepadanya dan kepada
bumi: gturutlah kamu berdua akan perintah-Ku, sama ada dengan sukarela
atau dengan terpaksa!h. Keduanya menjawab: eKami berdua sedia menurut -
patuh dengan sukarelah. [Fussilat 41: 11].
Bumi K=2ƒÎ r
K=44
r=7
R
Rajah 1 Jarak bumi dari langit
28 Fahmi Basya Hamdi, Al-Quran Alam Semesta dan Matematika 2, Pustaka Antara PT, Jakarta, 1990,
hlm. 18.
Oleh itu tunggulah [wahai Muhammad] semasa langit membawa asap yang
nyatah. [al-Dukhan 44: 10].

Secara simbolis, kita tentukan kod langit 44, di sana secara langsung pula ia berkait
dengan diri manusia, iaitu asal mula kejadiannya. Menurut ilmu genetik kromosom
asas tubuh manusia juga berjumlah 44. Sel manusia mengandungi 46 kromosom
yang lazimnya disusun secara berpasangan. 22 pasangan membentuk kromosom asas
atau somatik. Satu pasang berbentuk kromosom seks. Pada lelaki ia terdiri daripada
satu kromosom Y dan satu kromosom X, manakala pada perempuan ia terdiri dari
dua kromosom X.29 Dalam penjelasan yang lain spermatozoa yang matang tadi
mempunyai 23 kromosom, 22 darinya autosom, satu kromosom seks. Oleh kerana
sel induk sperma mempunyai 44 autosom, satu kromosom X dan satu kromosom Y,
jadi apabila ia membahagi untuk membentuk spermatozoa, tiap-tiap satu darinya
akan mempunyai 22 autosom dan satu kromosom X atau satu kromosom Y.30
Sekali lagi kelihatan kukuhnya kaitan antara simbolis kelangitan yang asal mula
asap diletakkan dalam wahyu bertulis pada Surah ke 44, dan kromosom tubuh manusia
pula berjumlah yang sama. Lebih menarik lagi, langit itu diwahyukan Allah dengan
menyebut Dialah yang memberikan cahaya kepada langit dan bumi seperti mana
firman-Nya:

Allah yang memberi nur [cahaya] kepada langit dan bumih. [al-Nur 24: 35].

Simbolis ini [hubungan antara langit dan bumi atau kejadian langit dan manusia]
masih lagi kelihatan, iaitu pada kromosom Y [sperma lelaki] menunjukkan bintik
terang [bercahaya] di pertengahan kepalanya, sebaliknya pada sperma perempuan
yang mengandungi kromosom X tidak begitu.31 Keadaan ini benar-benar
mengisyaratkan kelebihan orang lelaki dari orang perempuan dalam setengah keadaan
khususnya kepimpinan.
Secara simbolis juga kita melihat kromosom pada sel telur dari ibu adalah 22+1. 22
adalah kromosom tubuh dan 1 kromosom jenis X. Kromosom pada sel sperma dari
bapa ialah 22+1. 22 adalah kromosom tubuh dan 1 kromosom jenis X atau Y. Ertinya
ada sperma yang mempunyai kromosom X dan ada sperma yang mempunyai
kromosom Y. Pertemuan sel telur dan sel sperma menghasilkan benih. Benih tersebut
mewakili 22+22 = 44 kromosom tubuh. Kromosom jenis pada benih itu sama ada
XX ataupun XY. Jika percantuman X dari lelaki dengan X dari perempuan
menghasilkan bayi perempuan, dan jika X bercantum dengan Y menghasilkan bayi
29 Muhammad Ali Albar, Op cit, hlm. 57.30 Derek Liewellyn Jones, Everywomen, terjemahan dengan judul Rahsia Wanita, Fajar Bakti, PetalingJaya, 1986, hlm. 14.31 Ali Albar, Op cit, hlm. 30.
lelaki. Selaras dengan ini ternyata bahawa menurut hukum Islam keturunan seseorang
itu ditetapkan dari sebelah bapa tidak dari sebelah ibunya.
Simbolis ini juga dapat diperhatikan dalam wahyu Quran dengan kedudukan Surah
al-Haj. Surah ini merupakan Surah ke 22 dalam bilangan surah-surah Quran. Berhubung
dengan itu ia ada juga pada ibadat Haji, yang antara lain mengulangi peristiwa masa
lalu [keturunan masa lalu], mengingati sejarah rumah ibadat tertua yang dibina oleh
Nabi Adam dan dibangunkan semula oleh Nabi Ibrahim.32 Ia antara lain merupakan
ingatan kepada keturunan Nabi-nabi terdahulu yang mengasaskan rumah ibadat
tersebut dan simbolis ini kekal dalam roh ibadat ritual Haji dalam Islam.

10.0 SIMBOLIS SALAT DAN KOMBINASI PUTARAN BUMI
Sebagaimana yang dijelaskan sebelum ini, bahawa antara wahyu yang dibaca [Quran]
dengan wahyu yang disifatkan sebagai eKitab Allah Terbukaf . yakni alam semesta,
secara simbolisnya mempunyai kaitan yang tidak dapat di pisahkan. Kelihatan di sana
ada keseimbangan dalam penurunan kedua-dua jenis wahyu tersebut. Sebagai contoh,
kalimat hayat [hidup] diulang sebut oleh Quran sebanyak 145 kali dan seperti itu juga
kalimat al-maut. Kekata al-dunya diulang sebut sebanyak 115 kali dan lafaz akhirat
juga berjumlah 115 kali. Kekata malaikat diulang sebut 88 kali sedang kekata syayatin
[para syaitan] disebut alam jumlah yang sama. Kekata al-harr [panas] sebanyak 4 kali
dan kekata al-bard [sejuk] diulang dalam jumlah yang sama. Kekata al-masafib
[musibah] disebut sebanyak 75 kali dan pasangan yang sepatutnya dilakukan bila
terkena musibah ialah al-syukr juga terungkap 75 kali. 33
Diperhatikan daripada keseimbangan tersebut ternyata bahawa wahyu yang dibaca
sifatnya seimbang dalam ungkapannya dan ulangan sebutannya. Secara simbolis juga
dapat kita katakan bahawa wahyu yang berupa kitab terbuka juga seimbang di antara
sesama mereka. Di samping kejadiannya yang berpasangan, keadaan ubudiyah yang
berlaku antara makhluk ini juga memperlihatkan keselarasan menuju kepada satu
kekuasaan tetapi dalam bentuk yang berbeza-beza. Quran menyebut:

Dan bintang serta pepohonan bersujud [kepada Allah]h. [al-Rahman 55: 6].

Dalam salat gerhana terdapat dua kali rukuk pada setiap rakaat. Penulis kitab Kifayat
al-Akhyar menyebut:
32 Fahmi Basya Hamdi, Al-Qurfan Alam Semesta dan Matematika 2, Pustaka Antara PT, Jakarta, 1990,hlm. 20.33 Lihat Mustaffa Mahmud, Rahsia al-Qurfan, terjemahan, Victory Agencies, Kuala Lumpur, 1989,hlm. 140-141.
Pada salat gerhana itu setiap rakaat dua kali berdiri; iaitu dengan
memanjangkan bacaan Alquran pada kedua-dua berdiri itu. Shalat gerhana
juga mempunyai dua kali rukuk pada setiap rakaat serta memanjangkan
bacaan tasbih pada kedua-dua rukuk itu, tidak pada sujudh.34

Berbeza dengan salat lainnya yang hanya satu rukuk pada setiap rakaat. Dua kali
rukuk adalah dua kali gerak 90 darjah. Dua kali 90 darjah ialah 180 darjah. Dalam
matematik sudut yang besarnya 180 darjah adalah sebuah garis lurus. Jadi secara
langsung salat gerhana ini memperkatakan secara simbolis satu garis lurus. Hal ini
bertepatan dengan penelitian para astronomi dan matematik bahawa gerhana tidak
terjadi kalau tiga benda angkasa [matahari, bulan dan bumi] tidak terletak pada satu
garis lurus.

(gambar)

Bumi
Bulan
Matahari
Jadi salat gerhana secara simbolisnya benar-benar mempernyatakan garis lurus yang
terdapat pada gerhana dan ini berlaku serentak dalam peroses pusingan masing-masing
pada orbitnya. Kalau gerak rukuk memberi simbol 90 darjah, maka gerakan yang
lain dapat dihitung. Kurang lebih gerak satu rakaat salat ialah 360 darjah atau gerak
satu keliling.

(gambar)

Quran menyebut:
Dia yang memberikan salat ke atas kamu dan para malaikat-Nya untuk
mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada nur [cahaya] dan Dia amat
penyayang kepada orang-orang yang berimanh. [al-Ahzab 33: 43].

34 Lihat Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Alhusaini, Kifayatul Akhyar, terjemahan Syed AhmadSemait et. al, Pustaka Nasional, Singapura, 1993, 1: 348. Lihat juga Muslim, Sahih, Bab Salat al-Kusuf, juzuk 3: 27-29.
Tegasnya gerakan satu rakaat secara simbolis sama dengan satu putaran, jadi sujud
juga secara simbolisnya sama dengan berputar. Dalam Surah al-Rahman disebutkan:
gDan bintang serta pepohonan bersujudh. [al-Rahman 55: 6].
eKesujudanf bintang-bintang dapat diperhatikan pada putaran pada orbitnya, dan
simbol kesujudan pokok pula dapat dilihat pada garisan-garisan batangnya.
Jika demikian, pusingan bumi juga bermakna esujudf kepada Tuhan, sama dengan
manusia. Bintang-bintang dan pepohonan sujud kepada-Nya. Biarpun berlakunya
kepelbagaian sujud itu, pernyataannya memperlihatkan kepatuhan makhluk tersebut
kepada Penciptanya, iaitu Allah. Dengan berputar [berpusing] atau esalatf, maka secara
simbolisnya bumi salat satu rakaat dalam sehari semalam, sebab sehari semalam
bumi menghabiskan sekali putaran.35 Akibat daripada ini terjadinya pertukaran dari
gelap kepada terang [bercahaya]. Jadi salatnya bumi secara simbolisnya membawa
cahaya kepada alam bumi. Bagaimana dengan salatnya manusia?. Tentunya amalan
salat kepada manusia juga membawa konsep yang sama iaitu mengeluarkan mereka
dari kegelapan kepada sinar pertunjuk Allah [iman]. Benarlah firman-Nya yang secara
simbolis mengungkapkan:
gDialah [Tuhan] yang memberikan salat kepada kamu dan para malaikat-
Nya, untuk mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang terang.
Dia amat penyayang kepada orang-orang yang berimanh. [Al-Ahzab 33: 43].
Mereka yang tidak beriman [tidak menunaikan salat] tentunya tidak memperolehi
cahaya tersebut. Kehidupan mereka pula tidak selaras dengan juzuk-juzuk alam yang
lain dan dengan sendirinya kewujudan mereka bertentangan dengan kewujudan alam
yang lain. Lantaran itulah Quran menyebut kehidupan mereka yang tidak beriman
adalah membawa kerosakan [mufsidin] lantaran ingkarnya mereka kepada ketetapan
Allah. Mereka yang tidak beriman itu juga tidak membawa apa-apa sumbangan kepada
keserasian dalam gerakan alam yang menuju kepada satu pengabdian kepada Allah
taala. Mereka dapat diibaratkan sebagai salah satu dari komponan roda alam yang
secara simbolisnya tidak berfungsi menggerakkan emesinf alam semesta ini. Apabila
hal ini berlaku, akhirnya alam akan musnah lantaran gerakannya terbantut atau terhenti.
Barangkali secara simbolis juga benarlah Hadis Nabi yang menyebut di akhir zaman
nanti ketika berlakunya kiamat, tiada lagi mereka yang mengucapkan kalimat Allah.36

35 Fahmi Basya Hamdi, Op cit, hlm. 26-27.36 Maksud Hadis: gTidak berlaku kiamat hinggalah tiada diucapkan di bumi [kalimat] Allah, Allahh.Hadis sahih riwayat Ahmad dan Tirmidhi dari Anas. Lihat al-Suyuti, Jamif al-Saghir, 2: 743, no.9849.

Manusia pada waktu itu adalah sejahat-jahat manusia.37 Mereka tidak lagi menyembah
Allah. Ertinya gerakan kesatuan pusingan antara alam manusia dan alam semesta
tidak lagi seragam. Dengan kata lain, terjadi antara manusia yang ditaklifkan wahyu
kepadanya yang sepatutnya mengerti kedua-dua jenis wahyu yang bersifat simbolis
[alam semesta] dengan wahyu yang bertulis telah tidak saling memper-kukuhkan,
bahkan saling membelakangi. Itulah saatnya terjadi kehancuran yang besar.

11.0 KESIMPULAN
Sesungguhnya antara manusia, alam dan wahyu yang tertulis mempunyai keserasian
dan keselarasan. Allah telah menentukan semua itu agar manusia dapat mengambil
pertunjuk daripadanya. Adalah menjadi satu kezaliman kepada manusia meneroka
alam semesta secara terpisah, iaitu dengan meninggalkan dan mem-belakangkan aspek
wahyu sebagai satu juzuk dari rangkaian mata rantainya; panduan paling benar dalam
mengurai-tafsirkan penerokaannya. Kedua-dua aspek wahyu itu kalau dipisahkan pasti
mengundang kemudaratan dan mala petaka kepada alam seluruhnya. Oleh itu wajar
diketengahkan satu gagasan keserasian antara keduanya sebagai suatu konsepsi baru
dalam memahami sains kini sehingga ia membudayai hidup manusia bagi mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat.

RUJUKAN
A. Yusuf Ali. 1983. The Holy Qurfan Text, Translation and Commentary, Maryland: Amana Corp.
Afzalur Rahman. 1981. Quranic Science, London: The Muslim Schools Trusts.
Al-Allamah Ali bin Muhammad al-Sharif al-Jurjani. 1969. Kitab al-Tafrifat, Beirut: Maktabah Lubnan.
Al-Bukhari. Tanpa tarikh. Sahih al-Bukhari bi Hasyiah al-Sindi, 4 juzuk. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Marbawi. Tanpa tarikh. Qamus al-Marbawi, 2 juzuk, Mesir: Isa al-babi al-Halabi.
Al-Raghib al-Asfahani. 1997. Mufjam mufradat alfaz al-Qurfan, tahkik Ibrahim Shamsuddin, Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah.
Al-Suyuti, Imam Jalaluddin Abdulrahman. T.tp. Jamif al-Saghir, 2 jilid. Beirut: Dar al-Fikr.
Derek Liewellyn Jones. 1986. Everywomen, terjemahan dengan judul Rahsia Wanita, Petaling Jaya: Fajar Bakti.
Fahmi Basya Hamdi. 1990. Al-Qurfan Alam Semesta dan Matematika 2, Jakarta: Pustaka Antara PT.
Ibn Manzur. T.th. Lisan al-Arab, 6 jilid, tahkik Abd Allah Ali al-Kabir et.al, Mesir: Dar al-Mufarif.
Ibn Ishaq, Kitab al-Siyar wa al-Maghazi, tahkik Dr. Suhail Zukkar, Qom: Mufasasah Ismailiyan, 1978.
M. Sastrapratedja. 1983. [editor], Manusia Multi Dimensional Sebuah Renungan Filsafat. Jakarta: Penerbit PT
Gramedia.
Mehdi Golshani. 1986. The Holy Qurfan and the Sciences of Nature. Tehran: Islamic Propagation Organization.
Muhammad Ali Akbar. 1992. Perkembangan Manusia Menurut Al-Qurfan dan Hadith, terjemahan Dr. Rusli Hj.
Nordin. Kuala Lumpur: Cresent News Sdn. Bhd.
Muhammad Ali al-Sabuni. 1970. al-tibyan di ulum al-Qurfan. Beirut: Dar al-Qalam.
Muhammad Fufad Abd al-Baqi. 1986. al-mufjam al-mufahras li alfaz al-Qurfan. Beirut: Dar al-Fikr.
Muhammad Rasyid Rida. 1983. Wahyu Ilahi kepada Muhammad, Terjemahan J. Saifudaulah al-Firdausy. Singapura:
Pustaka Nasional.
37 Maksud Hadis: gTidak berlaku kiamat kecuali atas sejahat-jahat manusiah. Ibid, Hadis no. 9850.
Murtada Muttahari. T.th. al-mafhum al-tawhidi lil alam. Tehran: Mufasasah al-Bifthah.
Muslim, Abi al-Husayn. T.th. Sahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr.
Mustaffa Mahmud. 1989. Rahsia al-Qurfan, terjemahan. Kuala Lumpur: Victory Agencies.
Ramli Awang. 1991. gPerutusan Rasulullah s.a.w dan Ketulinan Akidahh dalam Al-Risalah, Majalah Jabatan
Pendidikan Islam, FPPSM, UTM Skudai, bil. 4 tahun 2, 1991/92, hlm. 3.
Sayed Hossein Nasr. 1992. Pengenalan Doktrin Kosmologi Islam, terjemahan Baharuddin Ahmad. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka
Syed Ameer Ali, Sejarah Evolusi dan Keunggulan Islam, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992.
Shahibuddin Laming. 1993. Cosmology in the Qurfan. Kuala Lumpur: Nurin Enrerprise.
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Alhusaini. 1993. Kifayatul Akhyar, terjemahan Syed Ahmad Semait et.al.
Singapura: Pustaka Nasional.
Wallace I Matson. 1987. A New History of Philosophy, 2 vol. San Diego: Harcourt Brace Jovanovich, Inc.
Zakaria Awang Soh. 1990. Kejadian dan Keadaan Alam Semesta. Kuala Lumpur: Berita Publishing Sdn. Bhd.

Oleh : RAMLI AWANG
Jurnal Teknologi, 38(E) Jun. 2003: 27–48
© Universiti Teknologi Malaysia
16 Februari 2007 jam 13:32:13